"Bu, aku kampungnya dimana
sih?" Pertanyaan itu pernah suatu
kali diucapkan oleh anakku. Aku agak lama diam sebelum mampu menjawab
pertanyaannya.
"Kalau Ayah kan kampungnya di
Bukittinggi. Kalau Ibu di Yogya. Terus aku dimana dong?" Lanjut anakku
lagi.
Terus terang kami agak bingung juga
dihadapkan dengan pertanyaan semacam ini. Dengan posisi suami yang berasal dari
suku penganut garis matrilineal dan aku sendiri dari garis patrilineal,
tentulah agak sulit menjawab pertanyaan anakku itu. Belum lagi jika menghadapi
daftar isian atau formulir yang mempertanyakan "suku". Kecuali untuk
keperluan sensus penduduk atau penelitian sosial-budaya, kadang aku berpikir,
apa perlunya mempertanyakan asal suku untuk kehidupan dijaman digital ini.
Suatu jaman dimana hampir semua sisi kehidupan sudah tergerus oleh virus baru
bernama "globalisasi" yang berpotensi mengaburkan sekat antar bangsa.
Katakanlah, jika anakku dihadapkan pada
pertanyaan seperti ini. Dia akan menjawab apa? Suku Minang? Rasanya kurang pas,
karena dalam budaya Minang bukankah garis keturunan (dalam konteks sosial
budaya) berasal dari garis ibu? Demikian pula untuk mengaku bersuku Jawa,
terasa tidak tepat karena budaya Jawa menganut garis patrilineal.
Lantas bagaimana nanti anak-anakku akan
menjawab pertanyaan "Suku kamu apa sih?" Bagaimana kalau anakku menjawab : "Saya
orang Indonesia." Kuperkirakan si
penanya akan tersenyum. Namun kuprediksi mereka lalu mengajukan pertanyaan lanjutan lainnya : "Kampung
kamu dimana?" atau "Kamu
aslinya dari mana?"
Lantas harus bagaimana sebaiknya? Apakah
anak-anak dari hasil pernikahan antar suku harus mengadopsi salah satu suku
yang dibawa oleh orangtuanya? Atau sebaliknya meleburkan dua suku asal menjadi
"Indonesia", dengan kemungkinan sirnanya budaya suku-suku yang dulu
menjadi modal dari "bhinneka tunggal ika".
Tapi sejujurnya secara personal dalam
kehidupanku, penyatuan dua budaya dalam satu ikatan yang disebut perkawinan
telah mempengaruhi cara pandangku terhadap masalah yang berkaitan dengan
kesukuan. Setidaknya aku menjadi lebih mengerti, memahami, memaklumi dan
toleran terhadap "keunikan" masing-masing suku. Pengertian itu
memudahkan aku untuk berusaha tidak terjebak pada isu-isu stereotip mengenai
suku tertentu. Dan yang paling utama adalah menyadari, bahwa memang manusia di
jagad raya ini oleh Allah SWT dijadikan berbangsa-bangsa dan bersuku-suku, agar
saling kenal-mengenal (QS. Al Hujurat, ayat 13). Tak eloklah rasanya jika
saling mempertentangkan dan memandang suatu masalah dari sudut kesukuan.
Dan juga, kasihan benar para pendahulu
negeri ini yang telah bersusah payah menyatukan berbagai etnis di Nusantara
lewat "Soempah Pemoeda 28 Oktober 1928", jika perbedaan suku masih
menjadi isu yang memancing perdebatan dan pertentangan.
Pondok Gede - 02052012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar