Selasa, 11 Maret 2014

Mbak Sati



(1)
Hari ini, aku bertemu seseorang yang pernah dekat dengan keluarga kami. Mbak Sati namanya, lengkapnya Satiyem... Dulu mengasuh anak-anakku, sekarang dia sudah punya bayi sendiri dan berhenti mengasuh anak orang lain... Subhanallah, bayinya yang usia 4 bulan itu lucu, putih dan cakep... (Masih ingat aku, dia diantar ke rumah di suatu senja akhir tahun 2002. Ketika itu dia baru lulus SMP di satu kecamatan di Cilacap).

(2)
Mbak Sati ini orangnya punya "mata yuyu" (bahasa Jawa, perumpamaan untuk orang yang gampang terharu dan menangis). Dia mewek - merasa bersalah - ketika anakku si Tengah, tak sengaja menyiramkan air termos panas ke dadanya sendiri. Karena mbak Sati ini yang menuangkan air panas ke ember mandi tapi terlambat mengaduknya dengan air dingin.

(3)
Mbak Sati juga menangis waktu bertemu lagi dengan si Bungsu yang kehilangan kemontokannya setelah kami pindah keluar kota meninggalkan Pondok Gede. "Rifki kok kurus...??" Katanya waktu itu... Airmatanya bercucuran.

(4)
Mbak Sati juga pernah terpaksa ikut sekolah. Ketika si Sulung (waktu itu klas satu SD) mogok tidak mau sekolah karena diganggu oleh teman semobil jemputan. Si Mbak akhirnya ikut naik mobil jemputan dan menunggui si Sulung di sekolah sampai waktu pulang.

(5)
Mungkin setelah membaca kisah mbak Sati poin 1 sampai 4, ada yang bertanya : "Lho, anda kan ibunya si Sulung-Tengah-Bungsu, dimana anda waktu itu? Kok semuanya dengan mbak Sati?" ... Baiklah, akan kujawab : "Ooh, waktu itu saya sedang asyik ngantor... Aktualisasi diri..." Hihihi...

(6)
Kakak perempuan mbak Sati jadi TKW di Singapura, adik perempuan dan seorang temannya - mbak Titi - bekerja di Hongkong... Pernah kutanya : "Nggak pingin kerja di luar negeri? Kan gajinya gede?". Jawab mbak Sati : "Saya takut, bu. Sudahlah, saya kerja nggak usah jauh-jauh...". Mbak Sati memang 'nggak mainstream'.

Mbak Sati (baju putih) dan mbak Titi bersama si Tengah saat berumur 1,5 tahun



(7)
Mbak Sati yang saat itu masih remaja, juga pernah terjangkit 'virus iklan bahwa putih itu cantik'. Suatu saat, dia pernah titip minta dibelikan sabun yang di iklan teve bisa bikin kulit jadi putih. Aku meledeknya : "Oh, kamu pake sabun yang bisa bikin putih to? Tapi... Kok kamu nggak putih-putih juga...?" Dia tertawa terkekeh-kekeh... Hehehe....

(8)
Mbak Sati termasuk orang yang hemat. Gajinya setiap bulan dititipkannya padaku. Ia hanya mengambil sekedarnya untuk jajan dan beli pulsa, karena untuk kebutuhan toiletries, ia mendapatkannya dari kami. Dan saat mudik lebaran, dia bisa membawa uang dengan jumlah enam digit, yang ia simpan dibalik celana jins-nya...

(9)
Setelah punya hp, beberapa kali mbak Sati bangun kesiangan. Ternyata malam sebelumnya dia asyik mengobrol via hp di tengah malam. Waktu itu kutanya : "Kenapa sih, nelpon mesti ditengah malam gitu?". Dia jawab : "Kan kalo telpon tengah malam pulsanya gratis, bu....". Halaahh...sudah kena virus konsumerisme juga dia...

(10)
Ada orang bilang, para asisten rumahtangga ini kalau bisa bertahan setidaknya 3 tahun di rumah kita, maka mereka akan setia hingga bertahun-tahun lagi. Mungkin ada benarnya : Mbak Sati hampir 5 tahun membantuku. Mungkin kalau kami tidak harus pindah ke luar kota waktu itu, dia masih bersama kami sampai sekarang.

(11)
Ketika kami pindah keluar kota, mbak Sati tidak mau ikut. Dia keukeuh dengan prinsipnya : tidak mau kerja jauh-jauh. Alhasil, di tanah seribu pura, aku benar-benar 'sendiri, alone, lonely and desperate' mengurus rumah dan 4 orang lelaki (satu dewasa plus tiga anak-anak). Meskipun saat itu aku sudah alih status menjadi 'full time mother'.... tetap saja 'gegar budaya' itu tak terelakkan.... Hufft..

(12)
Mencari pengganti mbak Sati di tanah seribu pura itu tidak mudah... Pengalaman dari ibu-ibu sesama perantau makin mengukuhkan bahwa mencari 'the real mbak Sati' disitu memang sulit. Kalau pun ada, umumnya para perantau membawa asisten dari tempat asalnya. Disamping itu, 'mbak Sati' di pulau wisata seringkali menyamakan standar employer lokal dengan employer bule yang banyak bertebaran di antero pulau... Standar rumahtangga para bule itu, tentu saja jauh diatas kami para keluarga bumiputra. *Nggak kuat*

(13)
Dirantau tahun pertama, kadang dalam keadaan desperate, capek dan pegal, aku masih mengirim sms ke mbak Sati ; membujuknya agar mau ikut kami di tanah rantau dengan berbagai macam iming-iming. Tapi mbak Sati tetap keukeuh sumeukeuh dengan prinsipnya... Iming-imingku tidak mempan... Ya sudahlah, sepertinya 'desperate full time mother'  ini harus menjalani garis hidupnya.... Weleh weleh...

(14)
Setelah tiga tahun berada di 'kawah candramuka' sebagai full time mother yang piawai 'head over heels' jadi tukang laundry, koki, tutor mapel sekolah, satpam anak-anak, tukang antar jemput sekolah... Begitu kami pindah kembali ke Pondok Gede, aku jadi tak berminat lagi mencari pengganti mbak Sati... Yang ada sekarang hanya mbak 'laundry' yang datang satu sampai dua jam per hari lalu pulang. Itu karena laundry adalah jenis pekerjaan yang tidak kusukai....hihi...

(15)
Sekarang sudah hampir dua belas tahun berlalu sejak mbak Sati meninggalkan kampungnya disalah satu kecamatan di Cilacap, untuk meraih profesi 'asisten rumahtangga'.  Kutanya padanya, apa pencapaiannya setelah dua belas tahun bekerja sebagai asisten rumah tangga? Jawabnya, "Saya sudah bisa membelikan Bapak saya sebuah motor, juga membuat warung kelontong kecil untuk Ibu saya... Itu patungan juga bersama kakak dan adik...".  Kutanya lagi, "Nggak pingin kerja lagi sekarang?". Dia menjawab sambil tertawa, "Istirahat dulu, Bu. Ngurus anak... Biar aja sekarang suami yang kerja, saya tinggal minta uang... Hehehe.."

Mbak Sati sudah menemukan jalannya... Semoga dia, suami dan anaknya, semua baik-baik saja...


Pondok Gede - 04032014

Tidak ada komentar:

Posting Komentar