Bandara King Abdul Aziz - Jeddah
Rabu 12 Februari 2014. Setelah sembilan jam
berada di ketinggian, pesawat 'flag carrier' Republik Indonesia yang membawa
kami dari Jakarta mendarat di Jeddah. Waktu setempat menunjukkan pukul lima
sore. Alhamdulillah.
Cukup lama kami menunggu tahap pemeriksaan
imigrasi sebelum kami diperkenankan menuju bis yang akan membawa kami ke
Madinah. Kami melihat loket-loket imigrasi masih kosong dari kehadiran petugas.
Berbaik sangka saja. Mungkin para petugas sedang melaksanakan shalat maghrib
disambung isya... Benar saja, setelah waktu isya akhirnya tampak petugas sudah
berada di loket masing-masing. Disini loket jamaah laki-laki dan perempuan
dipisahkan. Tapi meskipun begitu, ada juga jamaah pria dari RI yang bandel
tetap mengantre di loket khusus perempuan. Petugas bandara yang sudah berusaha
menegur dan mengarahkan pun tidak digubris. Akhirnya mereka hanya mengembangkan
tangan, mengangkat bahu, dan berlalu. Beberapa jamaah RI (bukan dari rombongan
kami) yang berada di belakangku pun berceloteh dengan sesamanya, merasa senang
karena telah berhasil 'menaklukkan' petugas bandara Jeddah. Astaghfirullah...
Menjelang giliran menuju loket, aku
teringat pesan yang disampaikan oleh pembimbing pada saat manasik ; Jamaah
perempuan jangan bersikap seperti saat berada di Indonesia. Jangan bersikap
ceria ramah menggoda kepada petugas imigrasi di Jeddah yang semuanya laki-laki.
Bisa berabe akibatnya. Hingga aku pun memutuskan untuk berekspresi 'poker
face'... Alhamdulillah, lancar saja... Kulihat si petugas memeriksa dokumen
sambil memencet-mencet dua gadgetnya yang berada disamping keyboard komputer
imigrasi.
Lega setelah lepas dari imigrasi, kami pun
sudah ditunggu oleh bis-bis yang akan membawa kami ke Madinah. Perjalanan malam
Jeddah - Madinah kami lalui dengan nyaman. Tidak ada macet, tidak ada
ajrut-ajrutan karena jalan rusak.
Madinah al Munawarah
Dinihari ketika kami tiba di Madinah al
Munawarah, kota tujuan hijrah Rasulullah... Dari jendela bis tampak menara masjid
Nabawi yang dihiasi cahaya lampu... Bersinar ditengah gelap. Indahnya...
Ustadz melalui mikropon mengajak kami semua
ber-shalawat kepada Rasulullah... Ada rasa haru menghampiri, tak terasa mata
terasa panas. Teringat kisah Rasul dalam menegakkan Islam... Lalu terbersit
keinginan, seandainya RI punya pemimpin yang sedikit saja mewarisi sifat dan
keteladanan Rasulullah...
Shalat subuh pertama di masjid Nabawi.
Udara subuh di Madinah masih dingin, ditambah angin yang cukup kencang. Membuat
tubuh menggigil. Berjalan dari tempat menginap sejauh sekitar 70 meter, kami
sudah bisa mencapai pelataran masjid Nabawi. Di sepanjang jalan menuju masjid,
dalam gelap pagi buta, pedagang kakilima sudah menggelar dagangannya. Beberapa
diantara mereka menawarkan dagangannya dengan menggunakan bahasa Indonesia...
Raudhah
Bukanlah mudah mencapai Raudhah, demi
menjejakkan kaki dan mendekat ke makam Rasulullah. Kami hanya bisa melihat dari
jauh penanda makam Rasul, bekas kediaman
Rasul, mimbar dan kubah hijau yang menaungi makam Rasul. Seribu kesabaran yang
mesti mengendap dalam hati... Menanti giliran masuk Raudhah, beringsut-ingsut
bergeser, ditambah suara perintah tegas askar-askar perempuan... Alhamdulillah,
dengan bimbingan ukhti Azizah yang cantik, kami serombongan berhasil lebih dulu
mencapai Raudhah.... Diatas karpet warna hijau, tempat yang dipercayai menjadi
tempat berdoa yang mustajab... Subhanallah, alhamdulillah, allahuakbar... Kami
berhasil menegakkan shalat dua rakaat ditengah riuh kaki-kaki jamaah yang berdesakan
berebut melangkah keluar dengan perintah tegas para askar.
Ah, berhasil mencapai Raudhah dan melakukan
shalat disana sudah merupakan anugerah besar bagiku. Sungguh besar kemurahanMU.
Airmata bercucuran disaat shalatku... Sehingga aku kehilangan kata-kata. Aku
lupa apa yang akan aku pinta padaNYA. Aku hanya bisa berulang mengucap
syukur... Dan doa yang ada di kepalaku adalah permintaan agar aku menjadi
manusia yang selalu mengingatNYA, dekat padaNYA dan selalu bersyukur. Aamiin ya
rabbal alamin.
Maghrib pertama di Madinah
Shalat maghrib pertama di masjid Nabawi,
Madinah al mukaramah... Udara sejuk, langit bersih, cahaya lampu masjid, menara
masjid tegak berkilau membelah langit ... Ada bulan, bulat emas menggantung....
Subhanallah, indahnya... Terima kasih kepada Allah SWT, yang mengijinkan kami
menjejakkan kaki di tanahNYA...
Dan saat tanganku menengadah dalam doa, dua
butir kurma diletakkan di pangkuanku oleh seseorang... Alhamdulillah...
Jabal Uhud
Tengah pagi saat rombongan kami tiba di
Jabal Uhud. Bukit batu itu tegak dibawah sinar matahari. Panas mentari tidak
terasa terik karena tersamarkan oleh angin yang bertiup sejuk.
Bukit dimana Rasul pernah mempertahankan
diri dari serangan kaum Quraisy itu tidak berwarna hitam seperti layaknya
batu... Pada permukaannya ada nuansa kuning kemerahan. Menurut muthawwif, warna
kemerahan itu adalah jejak darah yang tertumpah dari para tentara pembela Islam
yang gugur dan dimakamkan di bukit itu.
Begitu beratnya perjuangan para pemeluk
agama Allah SWT dimasa awal tegaknya Islam dulu kala. Sementara saat ini,
disaat panji-panji Islam telah berkibar, mengapa begitu sulit menegakkan
nilai-nilai Islam yang merupakan rahmat bagi alam? Berapa banyak mereka yang
mampu istiqomah di jalanNYA, dibanding mereka yang mengaku Islam, tapi
perilakunya jauh keluar dari tuntunan luhur ini?
Astaghfirullah...astaghfirullah...astaghfirullah...
Dan jabal Uhud akan tetap diam di
tempatnya. Menjadi saksi perjalanan sebuah keyakinan yang disampaikan oleh
RasulNYA pada 1500 tahun yang lalu. Hingga kini, bukit Uhud pun menjadi saksi,
betapa kemajuan teknologi telah menjajah
sejarahnya... Lebih dari satu menara pemancar jaringan seluler berdiri tak elok
di puncaknya...
Makkah al Mukaromah - Masjidil Haram
Inilah inti dari umrah yang sebenarnya.
Alhamdulillah, tempat penginapan rombongan kami berada di seputaran Masjidil
Haram. Hanya dengan berjalan kaki sejauh sekitar 50 meter, kami sudah bisa
mencapai pelataran yang melingkari Kaabah.
Subhanallah, alhamdulillah... Kaabah yang
selama ini hanya kulihat di lukisan, di media cetak dan elektronik, kini ada di
depan mataku... Dalam udara tengah malam yang sejuk, kami melakukan thawaf yang
pertama, setelah miqat di masjid Bir Ali siang tadi. Meskipun saat itu tengah
malam, tapi para peziarah tetap mengalir seperti tak kenal waktu. Berjalan
berjejal dengan putaran arah melawan jarum jam, kepala ini rasanya selalu ingin
menoleh ke kiri. Bangunan berselimut kain hitam itu memang tak layak untuk
diabaikan dari pandangan.
Sebelum thawaf, pembimbing kami berpesan ;
"Jangan berusaha memotong arus untuk mendekati Kaabah dan Hajar Aswad.
Karena tubuh jamaah-jamaah Indonesia yang kecil akan sulit bertahan dari
dorongan jamaah Timur Tengah dan Afrika yang relatif lebih besar. Sebaliknya,
biarkan arus yang mendorong kita menuju kedekat Kaabah dan Hajar Aswad. Jika
memang itu hak kita, insyaAllah, kita akan sampai kearah sana." Tapi rupanya memang aku belum diberi hak
berada di sisi Kaabah untuk menyentuh kiswahnya dan ke depan Hajar Aswad untuk
menciumnya... Akan tetapi, aku sangat bersyukur, ketika dalam himpitan jamaah
lain yang bertubuh besar-besar, aku diberi kesempatan untuk menyentuh kaca
Maqom nabi Ibrahim, dan melongok jejak kaki beliau di dalamnya...
Alhamdulillah...
Lepas tujuh putaran, kami berkesempatan
melakukan sholat sunnah Ihrom, dilanjutkan dengan doa yang dibacakan oleh
Ustadz pemimpin rombongan dan di-amin-kan oleh jamaah. Doa yang kami lantunkan
saat Kaabah berada di depan mata. Tanpa bisa ditahan, hati ini terharu dan
tumpah menjadi airmata... Begitu banyak kupinta darinya, sementara baru sedikit
yang bisa kuberikan untukNYA... Astaghfirullah...
Sa'i, berlari-lari kecil dari bukit Safa ke
bukit Marwa sebanyak tujuh kali. Rukun haji-umroh ini adalah untuk mengingat
saat Siti Hajar, istri nabi Ibrahim harus berlari bolak-balik antara dua bukit
itu untuk mencari air bagi putranya ; nabi Ismail . Jika dihitung, total jarak
yang harus dilalui adalah sekitar 4000 meter. Jarak sejauh itu tidaklah terasa
jauh, karena padang pasir yang dulu dilalui oleh Siti Hajar, kini telah diubah
menjadi lorong berlantai marmer penuh, berlampu terang, dan berpendingin
udara... Sehingga rasanya seperti berjalan-jalan di mall saja. Apalagi
"track" untuk sa'i kini dibuat
hingga 3 lantai.
Shalat pertama kami di Masjidil Haram
adalah shalat Subuh. Waktu subuh masih satu setengah jam mendatang. Tapi ketika
kami tiba di masjidil Haram, jamaah sudah meluber sampai di pelataran masjid.
Dini hari itu, penunjuk temperatur di dinding depan masjid menunjukkan angka
22,6 derajat Celcius. Tapi angin yang lebih dari sepoi-sepoi membawa udara
dingin itu menjadi lebih tajam menggigit. Angin dingin terasa menampar kulit
wajah... Suatu hal yang jarang ditemui di Jabodetabek, misalnya. Dan ketika
kami selesai shalat subuh pada jam 6.00 (waktu KSA), suhu malah turun ke angka
22,2 derajat Celcius. Sementara matahari belum muncul.
Sebelum benar-benar menginjak tanah suci
ini, aku memiliki gambaran bahwa Kaabah akan mudah dilihat dari sudut manapun
di kawasan ini. Tapi ternyata gambaran itu salah total. Kini untuk melihat
Kaabah jemaah harus benar-benar mendekat di area thawaf. Karena dengan
perluasan gedung, Kaabah menjadi suatu titik di tengah lingkaran bangunan
masjid. Saat jemaah melakukan shalat di dalam gedung masjid pun, tidak semuanya
dapat melihatnya karena terhalang oleh
bangunan... Entah nanti jika proses renovasi telah selesai... Dan, ah, entah mengapa (aku berharap aku salah), berada di pelatarannya,
aku melihat bangunan bagian depan masjid malah mirip istana dan kastil-kastil
di Eropa sana. Aku berpikir, apakah Mekkah sedang berusaha menyandingkan dunia
spiritual dengan dunia konsumerisme ala barat. Bayangkan, setelah melakukan
shalat, thawaf, sa'i, lalu kita kembali ke penginapan. Dan untuk itu kita harus
melewati shopping centre dan mall gemerlap dengan brand-brand dari dunia
belahan barat...
Penunjuk arah di lantai dasar Mekkah Tower |
Jabal Rahmah
City tour Mekkah, salah satu acaranya
adalah mengunjungi Jabal Rahmah... Bukit batu yang terletak di luar kota
Madinah, yang merupakan tempat bertemunya nabi Adam dan Siti Hawa.
Jabal Rahmah, tempat pertemuan Nabi Adam a.s. dan Siti Hawa |
Pemandu tur mengatakan ; Tempat paling romantis di dunia ini bukanlah Eiffel atau Venezia, tapi Jabal Rahmah. Mengapa? Karena disitulah tempat nabi Adam dan istrinya Siti Hawa bertemu. Setelah sebelumnya mereka saling mencari keberadaan masing-masing begitu diturunkan secara terpisah ke bumi oleh Allah SWT. Karena waktu itu, nabi Adam diturunkan di tanah yang sekarang disebut India dan Siti Hawa di daerah Mekkah. Tahukah, berapa lama mereka saling mencari? Ternyata 200 tahun lamanya... Masyaallah...
Jabal Nur
Di Jabal Nur inilah terletak gua Hira'.
Sebuah tempat sunyi dimana Muhammad bin Abdullah, pada usianya yang ke-empat
puluh, menerima wahyu Allah SWT melalui malaikat Jibril.
Sungguh menakjubkan perjalanan spiritual
sang 'al amin'... Disaat telah meraih kesuksesan sebagai pedagang, beliau
memiliki waktu untuk menyepi di gua yang hening di atas gunung batu yang
gersang untuk mencari jawab atas
kegelisahan batinnya melihat keadaan di jaman jahiliyah saat itu.
Pantaslah jika sebagian orang mengatakan,
bahwa keimanan seseorang ditentukan di usianya yang ke-40 (usia saat Muhammad
bin Abdullah diangkat menjadi Rasul). Jika pada usia itu ia belum terlihat
tertarik pada hal-hal yang menyangkut keimanan, maka bisa diperkirakan ia akan
"kosong" hingga ujung masanya... Wallahua'lam...
Sayang sekali, rombongan kami hanya dapat
menyaksikan Jabal Nur dari jendela bis. Dari balik kaca bis, terlihat gua Hira'
terletak di tempat yang cukup tinggi. Tentunya dibutuhkan niat yang kuat untuk
mendaki bukit batu itu, demi sebuah niat untuk menyepi dan membersihkan
batin... Dan itu dimiliki oleh Rasulullah Muhammad SAW, insan pilihan, kekasih
Allah...
Arafah, Mina, Jamarat, Muzdalifah
City tour juga meliputi empat kawasan yang
berkaitan dengan ibadah haji. Subhanallah... Di alam yang gersang ini, dalam
pelaksanaan ibadah haji, tentulah dibutuhkan kondisi fisik yang mumpuni. Tak
heran jika sebagian orang menyarankan ; pergilah berhaji saat usia muda dan
fisik masih kuat, jangan menunggu hingga usia renta... Wallahu'alam...
Semoga pada waktu mendatang Republik kita
dianugerahi pemimpin-pemimpin yang baik dan benar, amanah dan istiqomah...
Sehingga kita bisa berharap padanya agar antrean daftar tunggu haji tidak
selama 8 tahun lebih seperti yang terjadi saat ini... Aamin ya rabbal alamin...
Thawaf dan Sa'i yang kedua
Alhamdulillah, panitia ternyata
menjadwalkan rombongan untuk melakukan umroh yang kedua.
Jika umroh pertama dua hari yang lalu
dilakukan pada tengah malam, kali ini umroh dijalankan setelah shalat Dhuhur
dengan miqat di masjid Jiranah. Perbedaan waktu umrah, tentu saja membawa kesan
yang tak sama dalam hal yang terlihat kasat mata.
Safa - Marwa |
Umroh pada malam hari dalam sungkupan udara jelang dini hari dengan suhu sekitar 21 derajat Celcius, tentu saja tak membuat tubuh kepanasan dan berkeringat. Tapi disiang hari,dengan suhu 27 derajat Celcius (masih lebih sejuk daripada suhu Jakarta), tak ayal membuat gerah dan mengalirnya keringat.
Namun demikian, nuansa batin yang terasa
tetap sama... Kepala yang selalu berpaling ke kiri... Lalu airmata yang
tiba-tiba saja meluncur tanpa tertahan setiap saat melambaikan tangan ke arah
Kaabah : "Bismillahi allahu akbar...", perasaan bahwa aku punya DIA...
Allah Subhanahu Wata'ala, Sang Maha Besar dan Maha Segala... subhanallah
alhamdulillah allahuakbar...
Dhuhur di Masjidil Haram
Langit biru abu-abu... Bersih tak ada awan.
Puluhan burung dara terbang bebas... Kadang tinggi, lalu menukik dengan riang
diantara menara masjid yang gagah menatap angkasa. Kadang pula terbang rendah
di atas kepala ribuan jamaah di pelataran Masjidil Haram... Cericit burung dara
itu jelas terdengar disela suara gumam para jamaah yang sedang menunggu adzan
tiba... Jauh lebih tinggi, ada tiga burung bersayap lebar terbang dengan
anggunnya. Mereka sedang bertasbih pada Sang Penciptanya dengan caranya
sendiri... Subhanallah... Jika hewan saja bertasbih, mengapa manusia -
ciptaanNYA yang sempurna, lupa bertasbih...?
Dhuhur ini adalah shalat dhuhur terakhir
sebelum kami meninggalkan tanah suci ini besok siang... Ada rasa sedih menaburi
perasaan... Enggan untuk beranjak dari suasana seperti ini. Ya Allah,
ijinkanlah kami kembali ke tanahMU diwaktu yang akan datang...
Thawaf wada'
Rabu 19 Februari 2014. Karena siang nanti
kami harus berangkat ke Jeddah dan melanjutkan perjalanan ke tanah air, maka
thawaf wada' dilakukan pada pagi hari sebelum waktu Subuh. Thawaf perpisahan
atau pamit... Seperti thawaf-thawaf sebelumnya, selalu menyembulkan getaran di
hati yang lalu berujung dengan airmata. Ada kesedihan karena harus meninggalkan
rumahNYA. Tapi sedikit tersilih oleh harapan akan kembali lagi ke tanah ini,
selarik doa yang kumohonkan di depan Kaabah...
Jeddah
Bis yang kami tumpangi melaju selama
sekitar dua jam menempuh jarak Mekkah ke Jeddah. Sepanjang jalan, kami disuguhi
pemandangan yang berbeda dengan landscape di tanah air. Padang pasir luas,
dengan warna kecoklatan ada di depan mata... Lengkap dengan segala tanda-tanda
bahwa negara ini ini sedang giat membangun 'fisik'nya.
Jeddah adalah kota pusat bisnis di kerajaan
Arab Saudi. Layaknya kota baru, kota ini juga sedang giat membangun fisiknya.
Disana-sini terlihat proyek real estate dengan 'landed house'. Di jantung kota,
gedung high rise bertebaran... Pun di kawasan al Balad. Kami dimampirkan di
sebuah toko oleh-oleh bernama "Ali Murah", yang semua pekerjanya
fasih berbahasa Indonesia, dan disana jamaah bisa membayar dengan mata uang
Rupiah. Sungguh suatu kehormatan bagi jamaah yang berasal dari RI. Di meja
kasir bahkan tertempel foto-foto pemilik toko bersama para pesohor asal
Indonesia... Diantaranya Deddy Mizwar, Rano Karno, Jokowi... Hal yang menjadi
pertanyaan bagiku ; Bagaimana pemilik toko itu tahu dan membedakan mana wajah
orang Indonesia yang merupakan orang
biasa dan mana yang pesohor? Apakah mereka secara teratur mengakses berita dan
foto tentang Indonesia? Sayang aku tidak sempat bertanya...
Di pedestrian pertokoan Corniche kami juga
menemui kantin yang menjual bakso bernama "Sari Raos"... Bakso
berikut mie halus dan pangsit goreng, ditemani sambal dan kecap bermerek asal
Indonesia, juga teh dalam kemasan kotak asal negara kita, cukup memenuhi
keingintahuan kami, seperti apa sih rasa bakso Jeddah... (Kesimpulan akhirnya,
bakso Jeddah ternyata mirip 'bakwan malang' di tanah air).
Sebelum melanjutkan perjalanan ke bandara,
kami berkesempatan mengunjungi Laut Merah (yang ternyata airnya berwarna biru
abu-abu)dan melakukan shalat di masjid Siti Rahma yang disebut sebagai masjid terapung
karena fondasinya berada di laut...
Di sepanjang perjalanan menyusuri Jeddah,
kami disuguhi pemandangan kota yang cantik dan bersih. Tanaman peneduh seperti
akasia pun tumbuh disana. Juga bunga perdu semisal bunga kuning yang kusebut
'kembang kenikir', kembang kertas (zinnia) dan bugenvil berbunga merah ungu.
Pohon peneduh lain yang banyak dijumpai disini adalah "pohon Sukarno"
yang konon bibitnya berasal dari Indonesia, dan kulihat sekilas mirip pohon
asam. Tapi ternyata pohon itu bernama asli pohon mimba atau mindhi. Disebut
pohon Sukarno disini, karena penanaman pohon mimba tersebut diusulkan oleh
Presiden Sukarno waktu itu, dan disetujui oleh Raja Fadh. Boleh dikata, Jeddah
adalah kota yang hijau di jazirah Arab. Dan menurut Ustadz yang duduk di bangku
depan kami, Rasulullah pernah mengatakan ; Jika jazirah Arab telah banyak
ditumbuhi pepohonan hijau, maka itulah salah satu tanda dekatnya akhir zaman...
Wallahu'alam...
Bandara King Abdul Aziz
Bandara di kota Jeddah adalah
persinggahan kami yang terakhir di perjalanan umrah ini.
Setelah menunggu sekitar tiga setengah jam,
akhirnya kami pun mengangkasa membelah langit malam di atas jazirah Arab. Lepas
sembilan jam di udara, kaki pun kembali menjejak tanah air. Ah, Jakarta gerah
dan panas. Mungkin dalam seminggu ini hujan sudah tidak turun lagi?
Menyusuri jalan tol yang alhamdulillah
tidak macet... Aku membuka kembali gadget yang lebih sering off selama berada
di tanah suci. Terbaca olehku bermacam artikel, berita dan status bernuansa
negatif... Ya, Allah... Begitu 'kemrungsung' kehidupan di tanah airku ini...
Kembali aku terkenang betapa tenangnya
delapan hari di tanah suci. Jika hidup ini berlalu hanya untuk mengingat, menyembah
dan beribadah kepadaNYA seperti delapan hari itu... Betapa teduh, betapa
damai... Terbayang lagi olehku masjid
Nabawi, masjidil Haram, Kaabah, bulan purnama di Madinah, burung-burung di
langit masjidil Haram, lantunan adzan yang indah... Ijinkan aku kembali lagi
ya, Allah. Tak bisa ditahan, airmataku mengucur lagi... Allahu rabbi, hatiku
seperti tertinggal di rumahMU...
#Perjalanan Umrah 12-20 Februari 2014#
Tidak ada komentar:
Posting Komentar