HATI IBU (1)
Dalam pekat malam, gelap seperti tak
berarti lagi. Bukan karena malam ini menjelang pagi, tapi kobar api upacara
untuk prajurit yang gugur itulah yang membuat terang padang gersang ini. Aku
menatap nyala api yang terdekat dengan ujung tanah bukit tempatku berdiri.
Disana, ditengah kobaran api itu, ada tubuh kukuh yang hanya beberapa saat dan
beberapa kali bisa kubelai, namun kurindukan sepanjang hidupku. Tubuh itu,
adalah anakku... Dia perlaya menjelang senja tadi.
Dan entah mengapa, aku tahu, aku tidak
menangis lagi. Mungkin airmataku telah kering, habis tumpah di senja tadi
ketika kudapati ia terbaring luka di atas tanah padang yang berdebu dengan
nafas tersisa satu-satu... Lalu makin deras tangisku, kala aku harus berani
mengungkapkan rahasia yang kusimpan rapat kepada lima lelaki lain yang
menatapku penuh tanya.
"Ya, dia ... Dia anakku. Dia kakak
tertua kalian...," kataku akhirnya. Tak ada lagi gemetar di bibirku, tak
ada rasa takut menghadangku. Aku bahkan tak peduli lagi apa kata mereka tentang
diriku dan masa laluku. Yang kutahu, hanya airmata yang makin deras mengucur.
Disela mata yang berkabut, aku melihat lima anak yang selalu bersamaku
tertunduk dengan wajah pucat.
Dan anakku yang tak pernah bersamaku makin
hilang seri wajahnya, kian redup matanya, tapi masih ada senyum lembut terkilas
di bibirnya. Setitik air mataku jatuh di dahinya, di kepala yang tergeletak
dipangkuanku... Seketika aku ingin berteriak! Melepaskan beban rahasia yang
kutanggung sendiri selama ini dan penyesalan atas ketidakberanianku
mengungkapkan kebenaran kepada lima anakku pada awal waktu...
Jika saja, seandainya keberanianku telah
mencapai puncaknya waktu itu... Mungkinkah kejadian akan berbeda dari saat ini?
Dan jika kebenaran itu kusampaikan waktu itu, adakah mereka akan percaya?
Adakah dia, yang kuingkari keberadaannya demi nama baik dan kehormatanku, akan
percaya begitu saja? Akankah kebenaran itu menjaganya dari kematian ditangan
saudaranya sendiri?
Oh, anakku... Seribu kali aku meminta maaf
kepadamu atas ketidakhadiranku dimasa lalumu. Tatkala ibumu seharusnya berada
disisimu, lalu dimana aku saat itu? Kubiarkan nasib mempermainkanmu... Membawa
dirimu ke tempat yang tidak seharusnya... Dan batinmu menderita dalam
kegamangan sepanjang hidupmu. Darah ksatria dan Dewa Surya yang mengalir dalam
tubuhmu begitu deras menunjukkan siapa dirimu. Tapi begitu banyak pula yang
mengabaikanmu hanya karena kau dibesarkan oleh kalangan rakyat biasa... Dan itu
karena kesalahanku!
Tapi tahukah kau, anakku... Hatiku, hati
ibumu ini tak pernah lepas darimu. Kasih sayang yang menjadi hakmu, yang
tersekat dan terhambat, menjadi derita yang kusimpan diam-diam... Dan tahukah
kau, aku mencatat dengan sepenuh hati menit demi menit, saat demi saat ketika
aku pertamakali melihatmu dijelang masa remajamu di Hastinapura, hingga saat
terakhirmu di padang Kurukhsetra ini.
Setelah
kematian Raja Pandu
Hari itu, aku dan lima adikmu kembali
menapakkan kaki ke Hastinapura. Setelah sekian tahun kami tinggal di hutan
mengikuti Raja Pandu, ayah adik-adikmu, mengasingkan diri dan meletakkan
mahkota Hastipura setelah jatuhnya kutukan seorang Resi kepadanya.
Tiga adikmu telah menjelang remaja saat
itu. Juga si kembar buah hati dari ibu Madri yang harus menjadi tanggung
jawabku sejak ibunya memutuskan melakukan "labuh geni" bersama
jenazah Raja Pandu, suami kami, ayah dari lima adikmu. Andaikan kau ada bersama
kami, nak... Akankah beban hatiku saat itu menjadi lebih ringan? Akankah segala
kelebihanmu mampu menjadi penjaga kami semua?
Anakku, masih sangat kuingat. Ketika kami
menapak gerbang kerajaan, rakyat Hastinapura berkerumun sepanjang jalan
menyambut kedatangan kami yang baru kembali dari pengasingan diri...
Tiba-tiba dari kerumunan itu muncul sesosok
tubuh yang menyeruak maju menghadap ke arahku. Seorang pemuda tampan. Matanya
menatap tepat kemataku. Ah, mata itu, seperti helai kelopak lotus. Dan entah
mengapa, aku tak hendak berpaling darinya, terasa seperti ada tali tak berwujud
yang mengikatku untuk terus berdiri diam menatap wajahnya. Ada rasa sedih dan
sakit yang mengaliri hatiku, menambah beban kedukaanku yang telah semula ada
karena kematian Raja Pandu. Siapakah pemuda itu?
Rakyat Hastinapura yang semula hanya
berdiri menyambut kami, satu persatu mulai berebut mengunjukkan sembah. Lalu
pemuda itu secara tak terduga berlutut menundukkan kepala dan tangannya
menyentuh ujung kakiku, memberikan penghormatan kepadaku. Aku takjub menatap
kepala berambut coklat tua berkilau yang tunduk didepanku. Dan, aku tak kuasa menahan
tanganku untuk menyentuh kepala pemuda itu untuk mendoakannya. Tahukah kau,
nak, apa yang kurasakan saat itu? Aku seperti menemukan sesuatu, tapi aku tak
paham apakah itu. Inginnya aku sejenak lebih lama lagi meletakkan tanganku
dikepala pemuda itu. Tapi keinginanku serentak luruh dengan ajakan lima anakku
untuk terus berjalan menuju istana.
Nak... Beberapa saat setelah aku beranjak
dan berlalu, dihatiku timbul pertanyaan yang tak bisa kujawab. Dan aku tak tahu
kepada siapa aku harus bertanya. Dirimukah pemuda itu, anakku? Tapi mungkinkah
kau berada di Hastinapura, sedangkan waktu kelahiranmu aku berada jauh dari
sini? Pertanyaan itu tak pernah terjawab olehku sendiri. Hingga suatu
hari, untuk kedua kalinya, bertahun-tahun setelah itu, aku kembali melihatmu.
Rangbhoomi
di Hastinapura
Anakku, inilah kali pertama aku melihatmu
setelah dewasa dan kali ini pula aku menyadari bahwa kau adalah pemuda yang
sama yang kutemui di gerbang istana bertahun-tahun yang lalu! Ya, Dewa Surya
telah memberikan tanda kehadirannya padaku dalam bentuk seorang bayi lelaki,
yaitu kau, anakku.
Aku memohon maafmu, Nak... Karena
kelahiranmu saat itu sungguh membuatku tak bisa berpikir dengan jernih. Aku,
dalam usia remaja, bahkan belum bersuami, tapi dihadapkan pada kenyataan bahwa
aku memiliki seorang putra. Kau bayi yang tampan... Lahir dengan anting
ditelinga dan perisai yang menyatu dengan tubuhmu. Dewa Surya ternyata memenuhi
permintaanku agar putra anugrahnya memiliki sesuatu yang menandakan bahwa
engkau adalah anakku.
sumber : Starplus |
sumber : Starplus |
Tapi, seelok apapun dirimu, nak... Maafkan
kelemahanku yang merasa pasti tak sanggup menghadapi pertanyaan yang muncul
karena kehadiranmu tanpa seorang suami disisiku. Akan terlalu banyak yang
terluka karena kebodohanku mencoba menggunakan mantra dari Resi Durwasa. Ayahku
sebagai raja, citra kerajaan Kuntibhoj, dan diriku sendiri.
Maafkan aku, nak. Saat itu ibumu yang dungu
dan naif ini terpaksa mengambil cara yang kejam untuk menutupi kehadiranmu.
Hatiku menangis perih kala engkau berada dalam buaianku. Engkau tetap anakku,
meskipun hanya berbilang jam dan hari aku sempat menimangmu. Menetes deras
airmataku ketika aku meletakkan tubuh mungilmu dalam keranjang yang kualasi
tilam beludru dan kurangkum bunga lotus disekeliling tubuhmu.
Pagi itu, aliran sungai Aswa akhirnya
membawa keranjang berisi tubuh mungilmu pergi menjauh dariku. Selayak
membersihkan namaku dan kehormatanku sebagai putri raja... Aku mencintaimu,
anakku. Tapi aku tak bisa bersamamu. Semoga kelak engkau ditemukan oleh manusia
berbudi yang mengasihi, menyayangi dan mendidikmu menjadi lelaki sejati... Aku
menangis menatap keranjang yang makin jauh terbawa arus sungai.
Dan sekarang, di arena Rangbhoomi, aku
meyakini bahwa pemuda yang muncul tiba-tiba itu adalah dirimu. Kau elok dan
tampan, anakku. Dewa Surya telah bermurah hati memberikan tanda-tanda
kegemilangannya pada dirimu. Tubuhmu kukuh dengan kulit hampir sewarna tembaga.
Wajah tampanmu berkilau dengan mata secerah kelopak lotus, rambutmu tergerai
jatuh di bahu yang lapang menatap dunia. Dunia yang ternyata tak berpihak
padamu.
Seperti singa gunung kau tiba-tiba muncul
di tengah arena. Menantang salah seorang ksatria yang sebenarnya adalah adikmu
sendiri. Aku hampir berteriak menghentikan adu tanding antara kau dan adikmu.
Terlebih ketika adikmu, Arjuna, menghujanimu dengan anak panah. Tapi semuanya
tertahan oleh perisai yang bersinar seperti emas dan melekat didadamu. Tak
mungkin. Tak boleh terjadi. Tapi kemudian aku tak ingat apapun, tubuhku lunglai
dan pandanganku menghilang.
Aku terjaga dari mati suri dengan hati yang
sakit. Dalam tidurku aku melihatmu tersenyum memandangku. Oh, anakku, maafkan
ibumu... Mendekatlah padaku, nak. Aku ingin memelukmu, mendendangkan senandung
pengantar tidurmu. Sesuatu yang belum pernah kulakukan sebagai ibumu. Tanganku
terulur menggapaimu, mengharapkan kau datang dalam rengkuhanku. Tapi tiba-tiba
kau lenyap dan aku berteriak memanggil namamu hingga aku terjaga dengan hati
perih.
Selasar
Istana Hastinapura
Aku berjalan setengah berlari kearahmu. Oh,
kau harus tahu, nak. Aku adalah ibumu! Kau adalah saudara tertua bagi kelima
adik-adikmu. Aku harus mengatakan ini padamu. Ketika aku menyebutkan namamu,
engkau menghentikan langkah dan berbalik menghadapku. Lalu dalam hitungan
detik, aku terpukau.
Oh, anakku, Dewa Surya telah memberikan
kemilaunya padamu dengan nyata dalam pandanganku, terlebih dengan pakaian
kebesaran raja, mahkota dan uttariya keemasan yang kau sandang.
"Ibu Ratu..," sapamu sambil
mengunjukkan tanda hormat. Aku kehilangan kata-kata. Semua kata yang telah
kususun menghilang entah kemana. "Sejak pertama kali aku melihat Ibu Ratu,
aku selalu teringat pada bunga lotus dan ingin mempersembahkannya kepadamu," katamu lagi sambil meletakkan
lotus itu di depan ujung kakiku. Ah, aku bahkan tak sempat melihat kapan kau
melangkah memetik bunga itu...
sumber : Starplus |
Lima adikmu kemudian muncul dan berdiri
diselilingku, memutuskan kebisuan yang menghinggapi diriku sejak pertama
berhadapan denganmu. Selanjutnya hanya kata-kata bernada permusuhan dan ancaman
yang terlontar diantara kalian. Kau disatu pihak dan lima adikmu dipihak
lainnya. Adikmu dengan kalimat penghinaan karena kau bukan bangsawan seperti
mereka. Bahwa kau hanya seperti seekor itik yang ingin menjadi seekor merak,
kata mereka. Dan kau pun dengan arogan berucap bahwa kau akan sanggup
mengalahkan ksatria dan bangsawan manapun termasuk lima lelaki yang berada
disekelilingku. Arjuna adalah adikmu sendiri yang kau beri sumpah, bahwa dalam
pertempuran kelak, anak panahmu akan mengejarnya sampai kemanapun. Perang
kata-kata itu berakhir dengan kaki adikmu yang sengaja menginjak dan melumatkan
bunga lotus yang tadi kau persembahkan padaku.
Bersusah payah aku menahan tangis demi
melihatmu hanya terpaku memandang bunga lotus yang sudah tak berbentuk karena injakan
kaki adikmu. Seharusnya aku bersuara, berkata dengan tegas kepada lima adikmu
bahwa sebagai ksatria, tak selayaknya mereka berlaku sedemikian rupa. Terlebih
engkau adalah saudara tertua mereka. Tapi selagi aku menyusun kekuatan untuk
menyuarakan itu, adikmu telah merengkuhku untuk meninggalkan dirimu yang hanya
bisa memandangku dari kejauhan. Hatiku menangis lagi. Nak, semoga kau bisa
menerima kata hatiku bahwa aku adalah ibu yang melahirkanmu...
Keberangkatan
ke Wanamarta
Untuk kesekian kali, kembali aku bertemu
dan berhadapan denganmu, anakku. Begitu dekat. Aku bahkan bisa mendengar isakmu
yang tertahan dan melihat matamu berkaca-kaca lalu mengalirkan airmata. Apa
yang ada di benakmu saat itu, hingga kau mengucurkan airmata untukku?
Hari itu, aku dan adik-adikmu meminta diri
kepada Raja dan Ratu Hastinapura, kepada petinggi kerajaan dan kerabat istana.
Kau hadir disana, tentu sebagai kerabat, karena atas prakarsa Putra Mahkota
Hastinapura engkau telah dinobatkan sebagai Raja Angga.
Aku mengerti betapa Putra Mahkota sangat
terkesan pada kemampuanmu melawan adikmu di arena Rangbhoomi. Saat begitu
banyak orang yang tak memandang kemampuanmu bahkan menghinakanmu karena kau bukan bangsawan, Putra Mahkota
Duryodhana membela dan seketika itu juga menobatkan dirimu sebagai Raja Angga.
Itukah yang membuatmu akhirnya mengangkat sumpah setia kepada Putra Mahkota?
Tapi tahukah kau, Nak, seperti apa perilaku Putra Mahkota terhadap adik-adikmu?
Ia telah menempatkan diri sebagai musuh adik-adikmu. Dan kini kau berada di
pihak mereka untuk menghadapi adik-adikmu sendiri?
Jauh dihati aku menyadari bahwa aku punya
peran besar yang tidak kau mengerti. Kebimbanganku untuk terus menutup rahasia
kelahiranmu, itu yang menempatkan dirimu pada tempat yang salah. Jiwa ksatria
demikian kental pada darahmu. Namun lingkungan tempat kau dibesarkan tidak
memperkenanmu untuk itu. Kepahitan demi kepahitan kau terima ; Penolakan Guru
Drona untuk menerimamu sebagai murid karena kau seorang sudra. Kau pun harus
menyembunyikan jatidirimu agar bisa menjadi murid Resi Parashuram, dan akhirnya
membuahkan kutukan pada dirimu. Nasib dan kepahitan hidupmu adalah karena aku.
Lalu bagaimana aku harus meluruskan kesalahan yang telah terjadi sekian lama?
Dan kini, mengapa kau meneteskan airmata di
hadapanku, Nak? Bukankah kau sekarang adalah Raja Angga, putra Adhirata dan
Radha? Bukankah aku belum membuka jatidirimu dan mengungkap siapa aku bagi
dirimu? Lalu mengapa kau menangis seakan aku adalah orang yang sangat berarti
bagimu?
Ketika aku tiba di depanmu, engkau seperti
biasa menghaturkan sembah penghormatan dengan menyentuh ujung kakiku. Aku
terpana saat kau bangkit dengan airmata tergenang di sudut matamu. Tanganku
terulur begitu saja menyentuh sisi wajahmu, dan aku tak hendak menahan laju
gerak tanganku ini untuk menyentuhmu. Kau anakku! Dan cinta seorang ibu kepada
anaknya demikian penuh membuncah di hatiku.Tak bisa menipu.
sumber : Aham Sharma FC |
"Semoga engkau tetap melangkah di
jalan kebenaran. Karena kekuasaan itu seperti merkuri yang bisa melarutkan emas
kebaikan..." Itu yang kukatakan kepadamu. Karena sejujurnya, aku sangat
menyayangkan dirimu yang berada dilingkaran hidup Putra Mahkota. Sedangkan aku
tahu, Adhirata dan Radha telah memberikan bekal nilai-nilai dharma kepadamu
meskipun kau bukan putra kandungnya. Dan pada saatnya nanti, aku harus
mengucapkan terima kasih kepada mereka.
Tanganku masih menyentuh sisi wajahmu
ketika airmata menetes dan mengalir dipipimu. Apa yang sebenarnya terjadi pada
dirimu, nak? Demikian besarkah kesedihanmu yang tak dapat kuketahui dan
kumengerti? Setetes airmatamu bahkan jatuh di depan ujung kakiku. Aku kemudian
melangkah meninggalkanmu dengan ketidakmengertian. Kereta dan adik-adikmu telah
menungguku untuk segera menuju Wanamarta. Diatas kereta, airmata dan wajah
sedihmu masih terbayang olehku. Tak terasa airmata mengalir membasahi pipiku.
Saat aku menoleh ke tempatmu berdiri, kau masih tegak menatap kearahku. Tetap
dengan wajah sedihmu yang sama sekali tak kumengerti. Dalam kebutaan hatiku
untuk memahami kedukaanmu, aku merasa tersanjung oleh airmatamu, Nak. Kau harus
tahu itu...
Jauh sesudah kejadian itu, setelah aku dan
adik-adikmu selamat dari istana di Wanamarta yang terbakar dan kembali ke
Hastinapura, aku baru memahami arti kesedihanmu kala itu. Aku yakin, sebagai sahabat
Putra Mahkota kau mengetahui rencananya namun kau tak mampu mencegahnya dari
pengaruh paman Shakuni. Dan itu kiranya yang menjadikan kesedihan dan airmata
pada dirimu saat keberangkatanku dulu... Saat kami kembali ke Hastinapura, aku
melihat wajahmu bersinar dan sekilas senyum lembut ketika pandanganku bertemu
denganmu. Nak, betapa aku berbahagia karenanya ; Kebajikan masih tinggal dalam
dirimu...
Gerbang
Batas Hastinapura
Hari itu, aku mendengar terjadinya
kericuhan di gerbang batas kerajaan Hastinapura. Ratusan rakyat Hastinapura
yang hendak berpindah ke Indraprastha tidak diijinkan pergi. Gerbang ditutup
dengan paksa sehingga beberapa keluarga tercerai berai karenanya. Sebagian
telah berada di luar gerbang, dan sebagian lagi tertinggal di dalam Hastinapura.
Dan aku mendengar, bahwa engkau yang ditugaskan untuk menutup paksa gerbang itu
bersama seorang adik Putra Mahkota, Pangeran Dushasan.
Dorongan hatiku yang membuat aku ingin
segera berada di tempat itu, terlebih setelah aku mendengar kau ada disana. Aku
tiba disana ketika engkau sedang berdebat dengan seorang gadis. Mungkin ia
salah seorang penduduk Hastinapura yang ingin agar diijinkan keluar gerbang
menuju Indraprastha.
sumber : Google |
Aku mendengar sebagian kata-kata gadis itu
padamu, bahwa tidak hanya pada diri manusia terletak ketidakbenaran, tetapi
juga pada mahkota yang dikenakannya. Gadis itu bijak dan berani. Ia berjalan
menuju pintu gerbang tanpa mempedulikan seruan dan ancamanmu. Ah, aku mendengar
kau menyebut nama gadis itu, Vrushali. Pastinya kau telah mengenal gadis itu
bukan? Lalu mengapa aku melihat wajahmu seperti tak yakin dengan apa yang kau
serukan, Nak? Kau seperti ragu-ragu dengan tindakanmu sendiri.
Aku mengerti kau berada dalam kebimbangan.
Kau tahu makna kebenaran, tapi kau harus melaksanakan perintah sesuai dengan
sumpahmu dan kedudukanmu sekarang. Saat itu juga aku berpikir bahwa aku harus
membantumu menentukan sikap. Aku turun dari kereta seraya menyebutkan namamu.
Kau menoleh lalu memandang tepat ke arah mataku, dan aku melihat wajahmu yang
terkejut. Gadis itu, Vrushali, juga berbalik dan memandangku dengan takjub.
Aku mengatakan padamu bahwa memisahkan
seorang anak dari keluarga, terutama ibunya adalah tindakan salah dan aku
memintamu untuk tidak melakukan itu. Oh, nak....tahukah dirimu, bahwa aku
mengatakan itu juga untuk diriku sendiri? Aku ibu kandungmu, tapi aku juga yang
merenggutkan dirimu dariku dengan sengaja. Ada rasa malu dan pedih yang
menyerang perasaanku saat itu. Tapi engkau mengangguk mendengar pintaku dan
memerintahkan tentara kerajaan agar menyingkir dari sisi Vrushali. Pangeran
Dushasan memprotes tindakanmu, tapi dengan tegas kau berkata ;
"Jangan mendebat, Pangeran. Ini adalah
perintah Ibu!"
Oh, hatiku berdesir mendengar kau
menyebutkan kata "ibu" untuk kata ganti diriku, bukan "Ibu
Ratu" seperti sebelumnya. Seandainya... Seandainya pun kau memanggilku
langsung dengan sebutan itu, aku tak akan menolak, Nak. Karena kau memang
anakku!
Kau lalu menunduk dengan wajah memerah.
Sekilas aku melihat matamu berkaca-kaca. Aku memutuskan kemudian bahwa gadis
itu dalam perlindunganku di Hastinapura, dan pada saatnya nanti akan berangkat
bersamaku ke Indraprastha. Dibalik itu, sungguh aku ingin agar kau menjauh dari
lingkaran kekuasaan Putra Mahkota agar kau terbebas dari dua kutub yang saling
berseberangan. Maka aku hanya bisa meninggalkan kata-kata untuk menguatkan agar
kau tetap ingat dan berada di jalan kebenaran. Kau hanya terdiam mendengar
pesanku yang kusampaikan dengan suara bergetar. Kemudian aku beranjak menuju kereta
bersama Vrushali, meninggalkanmu yang berdiri di gerbang istana dengan wajah
memerah dan mata berkabut. Pasti kau tak tahu, bahwa saat itu hatikupun
merasakan perih ; Karena kesalahanku maka saat ini kau terjebak berada di
tempat salah. Dan aku kembali menyesali ketidakberanianku mengungkap kebenaran
jatidirimu. Maafkan ibumu, nak...
Selayaknya seorang ibu. Meskipun aku adalah
ibu yang melahirkan dirimu tanpa pernah kau tahu, aku tetap menginginkan yang
terbaik untukmu. Betapa ingin aku melihatmu menjauh dari lingkungan para
Kurawa. Betapa khawatirnya diriku jika kebenaran yang kau miliki luntur karena
kedekatanmu dengan mereka.
Tapi dengan sumpah yang telah kau ucapkan
kepada Pangeran Duryudhana, mungkinkah kau akan sanggup berpaling mengkhianati
janjimu? Atau, jika kau tahu kebenaran jatidirimu yang selama ini tersimpan
rapat padaku, akankah itu mampu mengalihkan pendirianmu? Tapi yang terpenting adalah, kapan aku memiliki
waktu dimana aku mampu berkata jujur kepadamu? Aku menyadari kemudian bahwa aku
tak lebih dari seorang pengecut. Kumohon kau mau memaafkan untuk itu... (to be
continued)
Rawamangun
- 23102014
*)
Diceritakan kembali, berdasarkan tayangan serial Mahabharata versi Starplus
India.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar