Kompetensi dan Eksistensi
Syahdan, Karna adalah salah satu tokoh penting dalam epos Mahabharata
yang acap disebut tokoh antagonis. Akan tetapi bagi sebagian orang yang
menelisik lebih dalam, Karna dianggap tokoh protagonis yang terperangkap oleh sumpahnya sendiri.
Karna memiliki darah bangsawan dari ibunya, Kunti, seorang putri dari kerajaan Kuntibhoj.
Keberadaan Karna terjadi karena kesalahan Kunti dimasa remaja akibat
ingin tahu kemanjuran sebuah mantra. Hingga Dewa Surya akhirnya berkenan
"memberi" Kunti seorang bayi. Maka untuk menjaga namanya sebagai
seorang putri raja yang terhormat, Karna, bayi yang lahir tak berdosa
itu terpaksa di"larung" (bahasa halus untuk kata di"buang") dengan
dihanyutkan ke sungai.
Perjalanan bayi Karna di dalam keranjang
indah menyusuri sungai berakhir ketika ia ditemukan dan dianggap anak
oleh pasangan suami istri Adirath dan Radha, dari kasta sudra. Ia pun
dibesarkan dan dianggap sebagai anak sendiri tanpa tahu bahwa dia
hanyalah anak yang tak bertalian darah dengan orangtuanya. Tapi dasar
keturunan Dewa, Karna pun kemudian tumbuh menjadi pemuda yang trampil
memanah menyamai Arjuna, dengan ilmu senjata yang ia peroleh dengan
caranya sendiri.
Karna sadar dan sangat percaya diri dengan
keahliannya memanah. Hingga pada suatu ketika ia berani menantang Arjuna
dalam sebuah kompetisi yang hanya boleh diikuti para bangsawan dan
ksatria. Sontak para penonton di 'stadion' Hastinapura tercengang akan
keberanian dan kenekadannya. Seorang pemuda dari kasta sudra menantang
Arjuna si master panah berkasta ksatria? Apa kata duniaaaaa..?!
Alih-alih mendapatkan pujian dan support, ia malah direndahkan dan
dihinakan di depan forum, hanya karena dia berasal dari kalangan sudra
tanpa dipandang kompetensinya. Karna pun terpuruk di depan mata ribuan
orang penonton. Padahal sisi terdalam hatinya menginginkan orang
mengakui kemampuan dan keberadaannya. Kebutuhan akan nilai self esteem
yang saat itu meraja dalam dirinya.
Adalah kemudian Duryudhan,
si sulung durjana dari klan Kurawa yang tampil mengangkat harga diri
Karna. Di depan semua bangsawan dan rakyat akar rumput Hastinapura, ia
memuji keahlian Karna sekaligus menasbihkan Karna sebagai saudara
angkatnya. Dan sejak saat itu Karna memiliki hak selayaknya para
bangsawan Hastinapura.
Karna yang tak menyangka mendapat anugrah itu
langsung mengangkat janji dan sumpah, bahwa jiwa dan hidupnya kemudian
akan dipersembahkan untuk melindungi Duryudhan.
Nah, kiranya
sumpah itulah yang selalu dan harus dipegang oleh Karna. Meskipun pada
akhirnya dia tahu bahwa klan Kurawa adalah lucifer bagi klan Pandawa
sekaligus bagi kerajaan Hastinapura. Pun kenyataannya ia diangkat
sebagai saudara oleh Kurawa dengan hidden agenda ; Kurawa ingin
memanfaatkan keahliannya dalam memanah untuk melawan klan Pandawa.
Sesekali, Karna yang dibekali nilai-nilai kebenaran oleh orangtua
angkatnya berusaha meluruskan perilaku para Kurawa. Tapi ia kalah
berpengaruh dibanding paman Sangkuni, moron yang berperan sebagai
pembisik sekaligus penghasut keluarga Kurawa.
Posisi Karna yang
ambigu itu yang menyebabkan pertentangan batin dalam dirinya. Ia tahu
mana benar dan mana salah, tapi ia terikat pada sumpahnya. Dan
malangnya, sumpah itu telanjur ter-dedikasi-kan bagi pihak 'hitam'. Maka
terjebaklah dia dalam keadaan simalakama. Ia bergaul dengan pihak
lucifer yang angkara murka dan seharusnya dijauhi, tapi disisi lain ia
harus setia dengan sumpah dan janjinya melindungi Duryudhan si durjana
yang telah mengangkat martabatnya.
Selanjutnya bisa dipahami
mengapa Karna bersikeras menolak bergabung dengan saudaranya di klan
Pandawa, walaupun yang meminta adalah ibu kandungnya sendiri. Ia ingin
menjaga janjinya pada Duryudhan, satu-satunya orang yang mengulurkan
tangan saat ia terpuruk karena direndahkan kemampuannya dan dihinakan
eksistensinya didepan ribuan orang hanya karena ia dibesarkan dikalangan
kasta sudra. That's it.
Tak heran pula jika dikemudian hari,
Karna sekali lagi mengalami pertentangan batin yang sangat dalam ;
Ketika ia mengetahui bahwa ia adalah anak kandung luar nikah dari ratu
Kunti, yang berarti sebenarnya ia adalah si sulung dari klan Pandawa.
Inilah kata-kata Karna kepada ibu biologisnya, Kunti ;
"Apa kata para Dewa dan orang-orang jika tiba-tiba aku berada dipihak
Pandawa. Mereka akan memandangku sebagai manusia yang ingkar pada
janjinya sendiri. Karena itu, biarkan aku menjalani sumpahku."
Ya, meskipun itu berarti Karna harus tetap berada di pasukan Kurawa dan melawan Pandawa, adik-adiknya sendiri.
"Jangan katakan kepada Pandawa bahwa aku adalah kakak tertua mereka.
Karena jika mereka tahu, mereka akan menghormati aku dan menolak
melawanku dalam perang."
Karna tahu jika itu terjadi, skenario
para Dewa untuk menumpas angkara murka melalui perang Bharatayudha akan
berantakan. Ia tahu dirinya akan perlaya di medan perang karena ia
berada dipihak angkara murka.
Dengan berlinang airmata ia
mengunjukkan sembah, berlutut menyentuh kaki ibu kandungnya. Ia lalu
bangkit meninggalkan Kunti yang juga bersimbah airmata karena tak kuasa
menyatukan anak-anaknya.
Beberapa hari kemudian dalam Bharatayudha, Karna gugur oleh panah adiknya, Arjuna.
Satria Pandawa ; Yudhistira, Bhima, Arjuna, Nakula dan Sadewa pun
menangis saat tahu bahwa Karna adalah saudara kandung mereka sendiri.
Pondok Gede - 06072014
Benar2 pahlawan sejati; berani, setia, dermawan, dan tahu balas budi..
BalasHapusbtw aku suka bgt sama ulasan ini.. terimakasih :)
Terima kasih atas apresiasinya.... Memang sepertinya selama ini orang terlalu fokus dan terpukau kepada tokoh Arjuna, sehingga melewatkan tokoh ini.... hehe...
HapusIblis Krishna
BalasHapus