Selasa, 08 Juli 2014

Mahabharata ; KARNA (2)

Kompetensi dan Eksistensi

Syahdan, Karna adalah salah satu tokoh penting dalam epos Mahabharata yang acap disebut tokoh antagonis. Akan tetapi bagi sebagian orang yang menelisik lebih dalam, Karna dianggap tokoh protagonis yang terperangkap oleh sumpahnya sendiri.

Karna memiliki darah bangsawan dari ibunya, Kunti, seorang putri dari kerajaan Kuntibhoj.
Keberadaan Karna terjadi karena kesalahan Kunti dimasa remaja akibat ingin tahu kemanjuran sebuah mantra. Hingga Dewa Surya akhirnya berkenan "memberi" Kunti seorang bayi. Maka untuk menjaga namanya sebagai seorang putri raja yang terhormat, Karna, bayi yang lahir tak berdosa itu terpaksa di"larung" (bahasa halus untuk kata di"buang") dengan dihanyutkan ke sungai.

Perjalanan bayi Karna di dalam keranjang indah menyusuri sungai berakhir ketika ia ditemukan dan dianggap anak oleh pasangan suami istri Adirath dan Radha, dari kasta sudra. Ia pun dibesarkan dan dianggap sebagai anak sendiri tanpa tahu bahwa dia hanyalah anak yang tak bertalian darah dengan orangtuanya. Tapi dasar keturunan Dewa, Karna pun kemudian tumbuh menjadi pemuda yang trampil memanah menyamai Arjuna, dengan ilmu senjata yang ia peroleh dengan caranya sendiri.

Karna sadar dan sangat percaya diri dengan keahliannya memanah. Hingga pada suatu ketika ia berani menantang Arjuna dalam sebuah kompetisi yang hanya boleh diikuti para bangsawan dan ksatria. Sontak para penonton di 'stadion' Hastinapura tercengang akan keberanian dan kenekadannya. Seorang pemuda dari kasta sudra menantang Arjuna si master panah berkasta ksatria? Apa kata duniaaaaa..?!

Alih-alih mendapatkan pujian dan support, ia malah direndahkan dan dihinakan di depan forum, hanya karena dia berasal dari kalangan sudra tanpa dipandang kompetensinya. Karna pun terpuruk di depan mata ribuan orang penonton. Padahal sisi terdalam hatinya menginginkan orang mengakui kemampuan dan keberadaannya. Kebutuhan akan nilai self esteem yang saat itu meraja dalam dirinya.

Adalah kemudian Duryudhan, si sulung durjana dari klan Kurawa yang tampil mengangkat harga diri Karna. Di depan semua bangsawan dan rakyat akar rumput Hastinapura, ia memuji keahlian Karna sekaligus menasbihkan Karna sebagai saudara angkatnya. Dan sejak saat itu Karna memiliki hak selayaknya para bangsawan Hastinapura.
Karna yang tak menyangka mendapat anugrah itu langsung mengangkat janji dan sumpah, bahwa jiwa dan hidupnya kemudian akan dipersembahkan untuk melindungi Duryudhan.

Nah, kiranya sumpah itulah yang selalu dan harus dipegang oleh Karna. Meskipun pada akhirnya dia tahu bahwa klan Kurawa adalah lucifer bagi klan Pandawa sekaligus bagi kerajaan Hastinapura. Pun kenyataannya ia diangkat sebagai saudara oleh Kurawa dengan hidden agenda ; Kurawa ingin memanfaatkan keahliannya dalam memanah untuk melawan klan Pandawa. Sesekali, Karna yang dibekali nilai-nilai kebenaran oleh orangtua angkatnya berusaha meluruskan perilaku para Kurawa. Tapi ia kalah berpengaruh dibanding paman Sangkuni, moron yang berperan sebagai pembisik sekaligus penghasut keluarga Kurawa.

Posisi Karna yang ambigu itu yang menyebabkan pertentangan batin dalam dirinya. Ia tahu mana benar dan mana salah, tapi ia terikat pada sumpahnya. Dan malangnya, sumpah itu telanjur ter-dedikasi-kan bagi pihak 'hitam'. Maka terjebaklah dia dalam keadaan simalakama. Ia bergaul dengan pihak lucifer yang angkara murka dan seharusnya dijauhi, tapi disisi lain ia harus setia dengan sumpah dan janjinya melindungi Duryudhan si durjana yang telah mengangkat martabatnya.

Selanjutnya bisa dipahami mengapa Karna bersikeras menolak bergabung dengan saudaranya di klan Pandawa, walaupun yang meminta adalah ibu kandungnya sendiri. Ia ingin menjaga janjinya pada Duryudhan, satu-satunya orang yang mengulurkan tangan saat ia terpuruk karena direndahkan kemampuannya dan dihinakan eksistensinya didepan ribuan orang hanya karena ia dibesarkan dikalangan kasta sudra. That's it.

Tak heran pula jika dikemudian hari, Karna sekali lagi mengalami pertentangan batin yang sangat dalam ; Ketika ia mengetahui bahwa ia adalah anak kandung luar nikah dari ratu Kunti, yang berarti sebenarnya ia adalah si sulung dari klan Pandawa.

Inilah kata-kata Karna kepada ibu biologisnya, Kunti ;

"Apa kata para Dewa dan orang-orang jika tiba-tiba aku berada dipihak Pandawa. Mereka akan memandangku sebagai manusia yang ingkar pada janjinya sendiri. Karena itu, biarkan aku menjalani sumpahku."

Ya, meskipun itu berarti Karna harus tetap berada di pasukan Kurawa dan melawan Pandawa, adik-adiknya sendiri.

"Jangan katakan kepada Pandawa bahwa aku adalah kakak tertua mereka. Karena jika mereka tahu, mereka akan menghormati aku dan menolak melawanku dalam perang."

Karna tahu jika itu terjadi, skenario para Dewa untuk menumpas angkara murka melalui perang Bharatayudha akan berantakan. Ia tahu dirinya akan perlaya di medan perang karena ia berada dipihak angkara murka.

Dengan berlinang airmata ia mengunjukkan sembah, berlutut menyentuh kaki ibu kandungnya. Ia lalu bangkit meninggalkan Kunti yang juga bersimbah airmata karena tak kuasa menyatukan anak-anaknya.

Beberapa hari kemudian dalam Bharatayudha, Karna gugur oleh panah adiknya, Arjuna.
Satria Pandawa ; Yudhistira, Bhima, Arjuna, Nakula dan Sadewa pun menangis saat tahu bahwa Karna adalah saudara kandung mereka sendiri.

Pondok Gede - 06072014


Foto: Mahabharata ; KARNA (2)
Kompetensi dan Eksistensi

Syahdan, Karna adalah salah satu tokoh penting dalam epos Mahabharata yang acap disebut tokoh antagonis. Akan tetapi bagi sebagian orang yang menelisik lebih dalam, Karna dianggap tokoh protagonis yang terperangkap oleh sumpahnya sendiri.

Karna memiliki darah bangsawan dari ibunya, Kunti, seorang putri dari kerajaan Kuntibhoj.
Keberadaan Karna terjadi karena kesalahan Kunti dimasa remaja akibat ingin tahu kemanjuran sebuah mantra. Hingga Dewa Surya akhirnya berkenan "memberi" Kunti seorang bayi. Maka untuk menjaga namanya sebagai seorang putri raja yang terhormat, Karna, bayi yang lahir tak berdosa itu terpaksa di"larung" (bahasa halus untuk kata di"buang") dengan dihanyutkan ke sungai.

Perjalanan bayi Karna di dalam keranjang indah menyusuri sungai berakhir ketika ia ditemukan dan dianggap anak oleh pasangan suami istri Adirath dan Radha,  dari kasta sudra. Ia pun dibesarkan dan dianggap sebagai anak sendiri tanpa tahu bahwa dia hanyalah anak yang tak bertalian darah dengan orangtuanya. Tapi dasar keturunan Dewa, Karna pun kemudian tumbuh menjadi pemuda yang trampil memanah menyamai Arjuna, dengan ilmu senjata yang ia peroleh dengan caranya sendiri.

Karna sadar dan sangat percaya diri dengan keahliannya memanah. Hingga pada suatu ketika ia berani menantang Arjuna dalam sebuah kompetisi yang hanya boleh diikuti para bangsawan dan ksatria. Sontak para penonton di 'stadion' Hastinapura tercengang akan keberanian dan kenekadannya. Seorang pemuda dari kasta sudra menantang Arjuna si master panah berkasta ksatria? Apa kata duniaaaaa..?!

Alih-alih mendapatkan pujian dan support, ia malah direndahkan dan dihinakan di depan forum, hanya karena dia berasal dari kalangan sudra tanpa dipandang kompetensinya. Karna pun terpuruk di depan mata ribuan orang penonton. Padahal sisi terdalam hatinya menginginkan orang mengakui kemampuan dan keberadaannya. Kebutuhan akan nilai self esteem yang saat itu meraja dalam dirinya.

Adalah kemudian Duryudhan, si sulung durjana dari klan Kurawa yang tampil mengangkat harga diri Karna. Di depan semua bangsawan dan rakyat akar rumput Hastinapura, ia memuji keahlian Karna sekaligus menasbihkan Karna sebagai saudara angkatnya. Dan sejak saat itu Karna memiliki hak selayaknya para bangsawan Hastinapura.
Karna yang tak menyangka mendapat anugrah itu langsung mengangkat janji dan sumpah, bahwa jiwa dan hidupnya kemudian akan dipersembahkan untuk melindungi Duryudhan.

Nah, kiranya sumpah itulah yang selalu dan harus dipegang oleh Karna. Meskipun pada akhirnya dia tahu bahwa klan Kurawa adalah lucifer bagi klan Pandawa sekaligus bagi kerajaan Hastinapura. Pun kenyataannya ia diangkat sebagai saudara oleh Kurawa dengan hidden agenda ; Kurawa ingin memanfaatkan keahliannya dalam memanah untuk melawan klan Pandawa. Sesekali, Karna yang dibekali nilai-nilai kebenaran oleh orangtua angkatnya berusaha meluruskan perilaku para Kurawa. Tapi ia kalah berpengaruh dibanding paman Sangkuni, moron yang berperan sebagai pembisik sekaligus penghasut keluarga Kurawa.

Posisi Karna yang ambigu itu yang menyebabkan pertentangan batin dalam dirinya. Ia tahu mana benar dan mana salah, tapi ia terikat pada sumpahnya. Dan malangnya, sumpah itu telanjur ter-dedikasi-kan bagi pihak 'hitam'. Maka terjebaklah dia dalam keadaan simalakama. Ia bergaul dengan pihak lucifer yang angkara murka dan seharusnya dijauhi, tapi disisi lain ia harus setia dengan sumpah dan janjinya melindungi Duryudhan si durjana yang telah mengangkat martabatnya.

Selanjutnya bisa dipahami mengapa Karna bersikeras menolak bergabung dengan saudaranya di klan Pandawa, walaupun yang meminta adalah ibu kandungnya sendiri. Ia ingin menjaga janjinya pada Duryudhan, satu-satunya orang yang mengulurkan tangan saat ia terpuruk karena direndahkan kemampuannya dan dihinakan eksistensinya didepan ribuan orang hanya karena ia dibesarkan dikalangan kasta sudra. That's it.

Tak heran pula jika dikemudian hari, Karna sekali lagi mengalami pertentangan batin yang sangat dalam ; Ketika ia mengetahui bahwa ia adalah anak kandung luar nikah dari ratu Kunti, yang berarti sebenarnya ia adalah si sulung dari klan Pandawa.

Inilah kata-kata Karna kepada ibu biologisnya, Kunti ;

"Apa kata para Dewa dan orang-orang jika tiba-tiba aku berada dipihak Pandawa. Mereka akan memandangku sebagai manusia yang ingkar pada janjinya sendiri. Karena itu, biarkan aku menjalani sumpahku."

Ya, meskipun itu berarti Karna harus tetap berada di pasukan Kurawa dan melawan Pandawa, adik-adiknya sendiri.

"Jangan katakan kepada Pandawa bahwa aku adalah kakak tertua mereka. Karena jika mereka tahu, mereka akan menghormati aku dan menolak melawanku dalam perang."

Karna tahu jika itu terjadi, skenario para Dewa untuk menumpas angkara murka melalui perang Bharatayudha akan berantakan. Ia tahu dirinya akan perlaya di medan perang karena ia berada dipihak angkara murka.

Dengan berlinang airmata ia mengunjukkan sembah, berlutut menyentuh kaki ibu kandungnya. Ia lalu bangkit meninggalkan Kunti yang juga bersimbah airmata karena tak kuasa menyatukan anak-anaknya.

Beberapa hari kemudian dalam Bharatayudha, Karna gugur oleh panah adiknya, Arjuna. 
Satria Pandawa ; Yudhistira, Bhima, Arjuna, Nakula dan Sadewa pun menangis saat tahu bahwa Karna adalah saudara kandung mereka sendiri.

Pondok Gede - 06072014

3 komentar:

  1. Benar2 pahlawan sejati; berani, setia, dermawan, dan tahu balas budi..
    btw aku suka bgt sama ulasan ini.. terimakasih :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Terima kasih atas apresiasinya.... Memang sepertinya selama ini orang terlalu fokus dan terpukau kepada tokoh Arjuna, sehingga melewatkan tokoh ini.... hehe...

      Hapus