Kantong kresek adalah sebutan bagi kantong
plastik yang lazim digunakan untuk pembungkus barang belanjaan. Disebut
"kresek", karena jika digunakan ia menimbulkan bunyi berisik
kresek-kresek. Terlebih bila diremas-remas.
Tak tahu pasti kapan awal mula plastik
jenis HD atau PE itu muncul di negara kita. Dulu, jaman aku masih anak-anak,
seingatku plastik belanja adalah barang langka. Kalaupun ada, jenis plastiknya pun tebal serta
tidak berbunyi kresek-kresek. Kurang lebih mirip dengan jenis plastik laundry
yang tersedia di hotel-hotel. Dan pula, dulu penggunaan kantong belanja plastik
terbatas di toko-toko besar. Bandingkan dengan masa kini, dimana belanja sayur
pun kita akan diberi plastik kresek sebagai pembungkus. Sementara seingatku,
dulu belanja sayur selalu dibungkus dengan material alami seperti daun pisang
atau daun jati, dan para ibu kemudian menempatkannya dalam keranjang belanja
dari bambu atau plastik keras yang dibawa dari rumah dan bisa dipakai
berulang-ulang.
Lalu siapa yang mengira bahwa kehadiran
plastik kresek ini ternyata tidak seindah awalnya? Aku pernah membaca, plastik
seperti ini jika tidak diolah dengan baik akan merusak lingkungan, karena
material ini baru akan dapat diurai oleh tanah setelah 10 hingga 12 tahun. Tak
terbayangkan, betapa sengsaranya tanah tempat tumbuh tanaman disesaki oleh
sampah plastik yang dibuang begitu saja oleh pemakainya?
Berangkat dari hal itu, dan karena ingin
berperanserta dalam menjaga kelestarian lingkungan dengan gaya hidup "go
green" maka aku memutuskan untuk melakukan diet kantong kresek.
Untuk tahap pertama, sebelum benar-benar
bisa membawa sendiri tas dari rumah setiap kali hendak berbelanja (karena lebih
sering lupa ; terbiasa berangkat belanja dengan tangan kosong). Maka aku
memutuskan untuk sebisa mungkin menolak pemberian plastik kresek dari warung,
mini market maupun hyper market. Atau setidaknya mengurangi menerima plastik
kresek sebagai pembungkus.
Tapi bagi sebagian pemilik warung, kasir
mini market dan hyper market, ternyata niatku untuk menjalani gaya hidup
"go green" itu (hayaaahhh.....) terasa aneh.
Beberapa kali aku mendapati mereka
memandangku dengan heran. Misalnya ketika aku menolak plastik pembungkus telur
yang di-dobel karena aku sudah menenteng plastik dari belanjaan sebelumnya. Si
Teteh pemilik warung tetap nekad memberi plastik dobel sambil berujar,
"Ulah kitu, Bu.... Pakai sajalah, kan gratis ini..."
Atau dilain waktu ketika aku membeli
vitamin yang langsung kuselipkan ke dalam tas. Petugas apotik memandangku
dengan heran sambil kembali menyimpan plastik bercetak nama apotiknya.
Pun di sebuah minimarket, ketika aku
membeli deterjen bubuk, roti dalam kemasan plastik dari pabriknya, dan kopi
dalam kemasan kotak karton. Si Mbak Kasir mengambil sehelai plastik kecil untuk
membungkus deterjen bubuk, sehelai lagi untuk membungkus roti, lalu memasukkan
semua belanjaan dalam sehelai lagi kantong kresek berukuran besar. Aku langsung
memotong, "Mbak, sudah aja, dicampur dalam satu kantong besar aja, nggak
usah dikasih plastik masing-masing."
Mbak Kasir menjawab dengan agak ragu-ragu,
"Benar nggak apa-apa, Bu? Soalnya banyak yang nggak mau kalau belanjaan
dicampur jadi satu kayak gini..."
Hehehe.... Rupanya para aktivis lingkungan
melupakan satu hal. Mustinya untuk menggalakkan gaya hidup "go green"
mereka juga mendesak pemilik jaringan minimarket dan hypermarket untuk bersikap
pelit dalam memberikan kantong plastik. Atau lebih ekstrim lagi, memberikan
tambahan biaya untuk setiap helai kantong plastik yang diberikan kepada
konsumen? Dijamin para konsumen akan berpikir ulang dan memilih membawa sendiri
kantong belanjaan dari rumah.
Pondok Gede - 13072014