Dari koran hari ini, aku membaca kata pakar
bahwa : "Dongeng amat penting guna mengolah atau mengasah imajinasi agar
anak dapat tumbuh dan berkembang dengan pribadi yang peka."
Sumber : Google |
Kalimat ini membawa aku untuk menilai
diriku sendiri. Apakah dimasa anak-anak balita dulu, aku masih punya waktu buat
mendongengi mereka sebelum tidur? Yang kuingat, aku tidak mendongeng. Aku hanya
membacakan buku cerita sebelum tidur buat mereka. Ceritanya pun bukan dari
cerita hikayat klasik tradisional. Tapi cerita impor seperti Winnie The Pooh dalam berbagai episode
dan cerita Spiderman (!?). Saking
senangnya, dalam satu sesi anakku bisa minta dibacakan berkali-kali. Padahal
mata ini sudah ingin merem karena sudah kehabisan energi seharian di kantor...
(Oya, dimasa itu aku masih berstatus working
mom six to eight). Lebih 'menggemaskan' lagi, karena sudah terlalu sering
dan hafal, anakku bahkan tahu kalau ada halaman yang sengaja kulewati supaya
cepat selesai... Dan akupun diminta, atau tepatnya dipaksa mengulang dari awal
membacakan cerita... Hadeuuh...
Sekarang aku jadi bertanya-tanya sendiri.
Apakah karena cerita impor itu, sekarang anak-anakku lebih tertarik mengenal
Naruto, Tsubasa, Dragon Ball dan sejenisnya daripada tokoh Kancil, Timun Mas, Bawang
Merah Bawang Putih, atau Panji Semirang...?
Lalu aku membandingkannya dengan masa
kecilku. Dulu, dimasa anak-anak, sebelum tidur ibuku selalu mendongengkan Timun
Mas dan cerita tradisional sejenisnya. Tapi yang paling sering didongengkan
oleh Ibuku adalah cerita tentang "si Miskin" yang hidupnya susah,
tapi akhirnya selalu mendapat ganjaran yang membahagiakan karena kebaikan
hatinya. Seingatku, cerita itu yang selalu kuminta pada Ibuku...
Suatu kali, setelah dewasa, aku bertanya
pada Ibuku, "Bu, dulu waktu aku masih kecil, Ibu kan sering mendongeng
cerita Si Miskin kan? Itu kisahnya piye to, aku pingin dengar lagi."
Kulihat Ibu terdiam sejenak, lalu
senyum-senyum, "Oh, gitu ya? Kok kamu masih ingat aja sih...?"
"Iyalah... Ayo dong, Bu. Gimana
ceritanya?" Kataku keukeuh.
Ibuku masih senyum-senyum, bahkan senyumnya
makin lebar, bikin aku tambah kepo. Akhirnya Ibu menjawab, "Waah... Itu
Ibu sudah lupa..."
"Lho, kok bisa?"
"Iya... Cerita Si Miskin itu
sebenarnya karangan Ibu sendiri. Dan setiap malam ceritanya bisa berubah kesana
kemari. Pokoknya sak kecekel-e (=
sekenanya, sedapatnya). Makanya sekarang Ibu lupa... Wong nggak ada
pakem-nya...."
"Oooo.....," akhirnya aku mafhum
dan tak mendesak Ibu untuk mengulang dongeng masa kecilku itu...
Sepotong-sepotong aku ingat, dulu sambil mendongeng, Ibu kadang-kadang
memandang ke arah langit-langit kamar atau kadang memejamkan mata sambil terus
mendongeng. Mungkin saat itu Ibu berpikir keras, mencari ilham untuk kelanjutan
cerita “Si
Miskin”?
Hehehe... Ada baiknya jika mudik nanti akan kutanyakan kebenaran dugaanku itu
kepada Ibu.
Tapi diluar semua itu, aku menyadari bahwa
ternyata Ibuku kreatif juga ya... Hanya sayang cerita “Si Miskin” itu tak bisa
didokumentasikan, karena si empunya cerita sudah lupa. Padahal, aku berharap,
kalau saja Ibu masih ingat, aku akan menulis ulang cerita itu, lalu akan
kudongengkan kepada cucu-cucuku kelak... Yah, hitung-hitung sebagai penebus
kesalahanku yang tidak mendongeng kepada anak-anakku, melainkan hanya
membacakan buku cerita. Itupun cerita impor...
Pondok Gede - 02052014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar