Sebenarnya eforia gori (nangka muda) ini
bermula pada suatu pagi, ketika aku menahan kedongkolan hati pada Pak Sayur.
Pak Sayur yang tanpa merasa bersalah dan tak menunjukkan penyesalan, apalagi
mengeluarkan kata maaf dalam versi yang paling sederhana sekalipun...
Hadeeuhh...
Karena mendadak terbayang gudeg yang semi
pedas dengan taburan krecek (krupuk kulit) disana sini, dibalut dengan santan
yang gurih, aku pun memutuskan akan memasak gudeg esok hari. Maka pada pagi
menjelang siang pada H-1 aku menemui Pak Sayur, memesan bahan-bahan gudeg itu
untuk dibawakan besok pada hari H.
Seingatku, aku sudah bicara dengan jelas.
Bahwa aku besok akan membuat gudeg. Untuk itu aku memesan sejumlah
'ingredient'nya yaitu : gori (nangka muda), santan kental, cabe rawit, krecek
(krupuk kulit), petai, daun salam, lengkuas. Bumbu lain seperti bawang merah,
bawang putih, ketumbar, gula jawa memang tidak kupesan karena aku masih punya
persediaan di dapur.Pak Sayur pun kulihat mengiyakan dengan sungguh-sungguh.
Lagipula, saat aku bicara itu bukanlah "peak season", kondisi sudah
sepi dari ibu-ibu yang biasanya mengerumuni gerobak Pak Sayur. Jadi aku
berprasangka baik, dia pasti akan mengingat pesananku itu dengan 'cermat dan
seksama'... *jadi ingat pidato-pidato jaman orba*
Keesokannya di hari H, apa yang kudapat?
Pagi-pagi dengan semangat gudeg, aku mendatangi Pak Sayur. Kutagihlah
pesananku. Santan kental, krupuk kulit, cabe rawit, petai, bumbu-bumbu ada di
gerobagnya... Tapi,
"Lho, pak, gorinya mana...?"
Dengan santainya Pak Sayur menjawab,
"Waah, lupa Bu..." Wajahnya
tak menunjukkan penyesalan.
"Lho, piye to, pak... Kan kemarin saya
pesan bahan untuk gudeg? Masa gori-nya malah nggak ada? Masa isinya nanti cuma
krecek sama cabe rawit?" Aku mulai sebal.
"Saya pikir ibu mau bikin sambel
goreng krecek... Ini saya bawain kreceknya banyak sama kacang tolo-nya
sekalian..."
Ealaaahh... Kenapa Pak Sayur ini jadi
berinisiatif dan kreatif tapi ngeselin? Aku dari kemarin mau bikin gudeg, kok
malah sekarang disuruh masak sambal goreng krecek kacang tolo...?? Aku menghela
nafas. Sabaaaarr... Sabaaaarrr....
Akhirnya dengan sedikit terpaksa dan agak
tidak rela, kubayar juga pesananku itu. Paling-paling kalau tidak dapat gori,
bahan-bahan itu kusimpan saja di kulkas sampai timbul ide baru mau dimasak apa.
Selanjutnya dengan penuh harap, aku kembali
berjalan menjelajahi lapak sayur yang ada disekitar komplek. Yang di dekat
masjid, si Ucok bilang, katanya gori sekarang mahal, jadi dia hanya menjual
kalau ada yang memesan. Kecewa aku. Tapi masih ada harapan. Berjalanlah aku ke
lapak sayur yang sedikit di luar komplek.
"Nggak ada, Bu. Gori jarang ada yang
beli, makanya saya juga nggak jual itu setiap hari," kata si Mbak pemilik
lapak. Oalaaahh.... Susah betul ya, mencari bahan utama gudeg ini.
Sepertinya, mau tak mau, aku harus
menjelajahi pasar tradisional demi nangka muda, atau santan kental yang di
kulkas itu basi dan harus dibuang. Sayang... Kan belinya bukan pakai daun atau
pecahan genteng, tapi pakai uang dari hasil jerih payah suami ngantor
"five thirty to eight thirty" karena jalanan yang macet ... hehehe...
Maka pada pagi menjelang siang itu, aku pun
berangkat ke pasar, sekitar 3 km dari rumah. Pertama aku mengitari pasar tumpah
yang berada di tepi jalan. Tak satu lapak pun yang kulihat memajang nangka
muda. Kutanya salah satu ibu penjual sayur. "Di dalam sana ada, Bu"
katanya sambil menunjuk bangunan pasar di seberang jalan.
Dan sekali lagi, demi gori yang akan
menjadi gudeg, demi santan kental agar tidak keburu basi dan terbuang... Maka
aku menyeberang jalan memasuki pasar yang jarang sekali kujejak, karena selama
ini aku mengandalkan Pak Sayur keliling atau lapak sayur yang ada di sekitar
komplek.
Dengan clingak-clinguk melongok kiri kanan,
aku menyusuri los sayur mayur di pasar tradisional yang tidak becek karena
berlantai keramik. Tak satu pun kulihat gori yang terpajang, sama dengan
kondisi di pasar tumpah di luar tadi. Aku hampir putus asa, sebelum akhirnya
bertanya pada seorang ibu pedagang tomat dan wortel.
"Di sebelah sana ada, Bu. Dekat yang
jual rempah-rempah dan bawang merah," jawabnya. Bergegas aku mengikuti
arah yang ditunjuk oleh ibu tadi.
Alhamdulillah... Pencarianku berakhir. Aku
menemukan onggokan nangka muda di atas meja batu berlapis keramik putih. Aku
seperti menemukan emas!! *lebay*
Dengan penuh semangat, aku lalu mengambil
beberapa potong gori yang dalam pandanganku waktu itu bagaikan bongkahan emas
kuning kemilau *haiyaaa, lebay lagi*.
Kutaruh potongan gori itu di depan bapak
penjual yang sudah siap dengan pisau ditangannya untuk mencincang emas, eh,
gori itu.
"Tolong dipotong ya, pak. Untuk
gudeg," pintaku. Bapak penjual gori pun kemudian memotong-motong nangka
muda itu dan menuangkannya ke timbangan.
"Satu kilo, Bu?" tanyanya
kepadaku.
"Ya, bungkus pak," jawabku tanpa
berpikir lagi, saking senangnya dengan pencarianku yang berhasil. Well, that is
called "euphoria". Isn't it?
Setelah membayar harga gori tadi, maka
melangkahlah aku dengan riang gembira menuju tempat parkir. Tapi, diatas motor,
dalam perjalanan pulang, aku baru berpikir. Satu kilo gori....? Hei, bukannya
selama ini takaranku membuat gudeg adalah setengah kilo gori?? Eh, sekilo atau
setengah kilo ya? Aku jadi ragu-ragu karena daya ingat yang semakin menurun.
Begitu sampai di rumah dan merebus potongan
gori tadi... Ya ampyuunn... Panciku hampir tidak bisa menampung bongkahan emas,
eh gori "gudeg wanna be" tadi... Namun, apa boleh buat. Sekali
berlayar, pantang surut ke daratan
*eaaa*. Kujalani juga proses
memasak gudeg yang "over size" itu dengan sepenuh hati.
Seperti inilah penampakannya ;
Saat anakku datang dari sekolah dan
melongok wajan di atas kompor, dia mengerutkan hidung,
"Ibu kok masaknya banyak banget
sih?"
"Wah, kayaknya dua minggu bakal makan
gudeg terus nih...," sambung si Sulung dari belakang si Tengah.
"Aah, kalian kan nggak tahu, bagaimana
perjuangan Ibu demi sewajan gudeg ini...?" Kataku agak masygul.
Lalu mereka pun segera berlalu dari
dapur... Mungkin khawatir kalau kata-kataku berlanjut dengan "lagu irama
rap" (= ngomel)... Hmmm...
Pondok Gede - 01042014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar