Suatu masa, kita
pernah punya pensil aneka warna.
Kugoreskan kuning,
jingga, hijau tua, hingga nila...
Kau torehkan merah, biru, juga abu-abu.
Semua
warna mengisi hari-hari yang kusangka tak punya tepi.
Karena, manakala majal
salah satu warnanya, aku rela merautnya.
Bila majal kembali, akan kuraut lagi
dan lagi...
Aku setia menabur aneka rupa warna.
Tapi aku letih,
kala warna-warna itu tergolek pudar tak nyata.
Betapa inginnya aku, engkau
meraihnya sejenak lalu merautnya,
lalu kau sapukan sedikit saja kuning atau
jingga biar hatiku merona.
Penantian yang tak ada artinya, kalaulah tak
dikatakan sia-sia.
Kubiarkan
warna-warni itu jadi tak berarti.
Pudar tak terbarui lagi.
Lalu aku hanya bisa
berkata ;
"Bukankah aku mewarnai harimu dulu?
Seperti juga kau yang
mewarnai hariku.
Kemana perginya biru, abu-abu, jingga dan nila itu.
Aku tak
perlu jawabmu.
Hanya kuberharap, jujurlah pada hatimu..."
Pondok
Gede - 28112013