Seringkali aku membaca tulisan tentang
profil manusia-manusia sukses dalam karirnya. Ketika ditanya tentang keluarga
(jika si tokoh sudah menikah), sebagian besar selalu mengatakan kurang lebih
begini : "It's okay. Saya selalu berkomunikasi dengan istri/suami dan
anak-anak. Yang penting adalah quality time, bukan quantity time..."
Setelah membaca kalimat-kalimat dengan inti
seperti itu, dengan berbagai variasi pemilihan kata-katanya, biasanya aku
langsung nyengir. Sambil bertanya-tanya sendiri, apa iya? Hehehe...
Lalu aku membayangkan seorang CEO,
eksekutif, business man/woman, politikus, selebriti yang bekerja dengan
tujuan dan target tertentu, yang
tinggal di kawasan Jabodetabek. Semakin tinggi kedudukan dan ketenaran mereka,
maka akan semakin tinggi tuntutan untuk berpikir dan bekerja lebih keras.
Artinya akan semakin banyak permasalahan yang harus diselesaikan, dan berarti
mereka dituntut untuk lebih banyak lagi mengalokasikan waktu untuk membereskan
pekerjaannya.
Kemudian situasi seperti inilah yang
terjadi dalam keseharian ;
- Bertemu di pagi hari dengan
tergesa-gesa dan komunikasi seadanya, terburu-buru berangkat kerja untuk menghindari
macet yang menggila di seputar Jakarta.
- Amat sangat sibuk selama office hour, sehingga tak
sempat berkomunikasi, bahkan untuk sekedar membalas sms atau Bbm.
- Tiba di rumah diatas jam 10 malam dengan sisa
tenaga yang telah terkuras karena pekerjaan dan kemacetan Jabodetabek. Itu pun
harus buru-buru berangkat tidur, dengan alasan agar tidak bangun kesiangan esok
hari. Seakan rumah pun berubah fungsinya hanya sebagai
tempat untuk tidur.
- Week end yang seharusnya menjadi hak keluarga pun
kadang harus mengalah karena keharusan acara-acara yang terkait dengan
pekerjaan. Belum lagi dengan business
trip yang kadang bisa memakan waktu berhari-hari.
Begitulah siklus waktu yang bergulir hari
demi hari. Hidup di Jabodetabek harus berpacu dengan waktu dan menaklukkan
kemacetan lalu lintas, yang ujungnya juga memakan dan menghabiskan waktu.
Nah, dengan siklus seperti itu, yakinkah
bahwa yang penting adalah quality time? Padahal untuk membangun suatu kondisi yang baik dan berkualitas
biasanya tidak bisa didapat dengan cara instan. Bagaimana mungkin waktu ke
waktu yang seharusnya dijalani secara kontinyu, sedikit demi sedikit, dengan
proses gradual hari per hari, tiba-tiba harus dihilangkan (atau dipersempit)
lalu diganti dengan segepok waktu dalam sehari dua hari di akhir minggu?
Kalau pun ada diantara manusia-manusia
unggul itu yang bisa eksis dengan kelebihannya dan mereka katakan "semua
baik-baik saja", kemungkinan besar, kurasa ada salah satu sisi yang harus
berkorban secara immateril. Baik dalam bentuk kesepian, kesendirian,
keterabaian, bahkan keterasingan. Dengan begitu, apakah masih bisa disebut
bahwa "semua baik-baik saja"?
Mudah-mudahan pemikiran dan persangkaanku
ini tidak benar. Semoga masih banyak penduduk Jabodetabek yang jauh dari
jenis-jenis makhluk 'mesin' seperti yang kutulis diatas...
Akhir kata, mohon maaf, beribu maaf jika
ada yang tidak sependapat dengan pemikiran dan perkiraan yang kumiliki.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar