Saat
membuka kembali catatan lama. Aku menemukan tulisan ini. Aku ingat, pada
semester pertama (atau kedua?) kuliah, dosen bahasa Inggris yang muda dan
cantik membawakan tulisan yang aslinya dalam bahasa Inggris untuk diterjemahkan
bersama. Pertama mendengar Bu Dosen membacakan naskah ini saja, mataku sudah
berkaca-kaca. Sayang, asli naskah dalam bahasa Inggris (yang berupa lembaran
fotokopi) dari Bu Dosen sudah hilang entah kemana. Yang tersisa di catatanku
hanya naskah yang sudah kuterjemahkan sebisaku dalam bahasa Indonesia. Seperti
ini :
Ibu, aku tak pernah melupakan saat-saat
ketika aku hendak meninggalkan Jakarta untuk menuju Amerika. Di kamarmu waktu
itu engkau memelukku erat, sementara kendaraan yang akan membawa kami - aku,
suami dan anakku - telah menunggu cukup lama. Hatiku tersayat, aku merasa takut
tak akan dapat bertemu lagi denganmu. Di atas pesawat terbang yang membawa kami
ke Amerika, aku masih dapat mengingat dengan jelas pesanmu : "Jangan terpaku
pada apa yang telah engkau tinggalkan, lihatlah ke depan dan jadilah wanita
yang berani dan tegar. Semoga Tuhan melindungimu, anakku!"
Karena itu setiap pesawat transit, aku
selalu mengirimkan postcard untukmu.
Dan sesampainya kami di tempat tinggal yang baru, Los Angeles, aku menulis
surat berlembar-lembar untukmu. Aku ceritakan betapa terpesonanya aku berada di
negara baru. Kuceritakan juga kepadamu tentang segala hal yang baru kutemui di
Amerika. Tentang hotdog, hamburger
dan french fries, tentang sistem pembuangan
sampah yang rapi, dan tentang mesin penyedot debu.
Ibu, aku sengaja tidak bercerita kepadamu
bagaimana putus asanya aku ketika aku tidak berhasil memperoleh pekerjaan. Saat
itu aku berkali-kali ditolak bekerja karena aku tidak memiliki pengalaman, dan
juga karena bahasa Inggris-ku tidak begitu baik. Waktu itu aku hanya mengatakan
kepadamu bahwa aku belum bekerja karena harus mengikuti beberapa macam kursus.
Untuk itu aku berusaha bersikap berani dan tegar seperti yang kau inginkan.
Beberapa bulan kemudian aku dapat menyelesaikan kursus dan berhasil memperoleh
pekerjaan. Aku ceritakan hal itu kepadamu, dan engkau membalas surat itu,
mengatakan bahwa engkau sangat senang mendengar keberhasilanku itu.
Dengan dua orang yang mencari nafkah, rumah
tangga kami berjalan lebih baik. Kami sudah mampu membayar kembali uang bantuan
dari gereja yang kami dapat ketika kami pertamakali tiba. Memang gereja tidak
pernah meminta kami untuk mengembalikan uang itu. Tapi aku merasa berasal dari keluarga yang memiliki kebanggan
tersendiri, dan aku ingin tetap menjaga kebanggaan itu.
Aku ingat waktu kami - aku dan suamiku -
memperoleh rumah sewaan dengan barang-barang yang kami beli sendiri. Aku merasa
amat bahagia, senang, sekaligus bangga. Dimalam-malam yang hening, aku duduk
sendiri di teras rumah, dan aku terkenang kepadamu. Betapa aku merindukanmu,
Ibu. Tak terasa airmata bergulir, mengalir dipipiku.
Ibu, kami sangat berbesar hati dapat
mengundangmu berkunjung ke Los Angeles setelah tujuh tahun kami tinggal di kota
itu. Aku ingat, betapa terkejutnya aku ketika melihatmu di bandara. Engkau
tampak jauh berbeda dengan saat-saat kutinggalkan dulu. Engkau tampak jauh
lebih tua dengan rambutmu yang mulai memutih. Selama tiga bulan kunjunganmu di
Amerika, kami mencoba menunjukkan kepadamu hal-hal yang mungkin tidak dapat kau
temui di Indonesia. Mulai dari pintu garasi otomatis, drive in car wash, garage sale, hingga membawamu ke Disneyland.
Pada waktu itulah engkau menceritakan
kepadaku bagaimana hancurnya hatimu waktu Ayah meninggal dua bulan sesudah
kepergianku ke Amerika. Setelah itu engkau hanya memohon kepada Tuhan agar
dapat berjumpa denganku walau sekali sebelum engkau dipanggil olehNYA.
Aku tahu engkau berusaha keras menahan
tangis ketika kami mengantarmu ke bandara untuk kembali ke Indonesia. Aku
mengerti hal itu karena engkau tak ingin melihatku turut bersedih dan menangis.
Tapi sebenarnya aku tidak merasa sedih waktu itu. Aku hanya berpikir, dapatkah
aku kembali ke Indonesia untuk menjengukmu dalam satu atau dua tahun mendatang.
Ibu, ternyata Tuhan mengijinkan aku untuk
menimang buah hati lagi. Aku hamil beberapa waktu setelah engkau kembali ke
Indonesia, sehingga aku membatalkan rencanaku menjengukmu di Jakarta.
Setelah itu dalam surat-suratmu, engkau
mengutarakan tentang kesehatanmu yang terasa tak sebaik dulu lagi karena usia
yang semakin bertambah. Tapi setelah itu kau selalu berkata agar kami tak perlu
cemas, karena semuanya tetap berlangsung seperti biasa. Akhirnya ketika aku
menerima suratmu yang terakhir, aku tahu ada sesuatu yang terjadi pada dirimu.
Suratmu jauh lebih pendek dari biasanya. Aku menduga kesehatanmu memburuk, dan
mungkin engkau berusaha keras untuk dapat menulis surat itu.
Ada demikian banyak hal yang ingin
kunikmati bersamamu, Ibu. Bagaimana kami menikmati kacang kapri hasil panen
pertama kebun kebun kami. Bagaimana bayi kami mulai bisa berceloteh dan
merangkai kata. Tapi sebelum aku dapat menuliskan semua itu untukmu, engkau
telah menghadap Tuhan meninggalkan kami semua.
Ibu, hatiku tersayat manakala aku membuka
kotak surat dan menyadari tak akan ada lagi surat darimu.
Meskipun aku telah menjadi seorang ibu bagi
anak-anakku, aku masih menginginkan Ibu untuk diriku sendiri. Aku merasa
sendirian kini. Tak ada seorang pun yang dapat menggantikan dirimu dihatiku.
Kini aku hanya dapat mengenangmu, Ibuku yang bijaksana dan sempurna. Aku
berharap bisa menjadi seorang ibu seperti dirimu. Aku selalu mencintaimu.
Ditulis ulang di Pondok Gede - 17052013
-
Saduran bebas dari "Mother, Now I Have Only Your Memory" oleh Ellen Ho, Los Angeles Times - 21 Oktober
1981.
-
Pernah dimuat di majalah internal Bank BNI, Desember 1994.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar