Jumat, 31 Mei 2013

Kreativitas Dalam Sepotong Roti




Entah mengapa, dalam beberapa hari ini aku seperti 'ngidam' roti bakar. Mungkin karena lambung dan pencernaan yang agak kurang bersahabat akhir-akhir ini. Kegemaranku terhadap rasa pedas cabe dan harumnya kopi seperti harus dihentikan sementara. Dampaknya, aku kemudian mencari-cari satu jenis makanan yang mampu membangkitkan semangat mengunyah. Maklum dengan kondisi perut yang tak nyaman, tentunya membuat selera makan bermigrasi entah kemana.

Setelah berkali-kali menimbang dan memilih, seleraku mengarah pada makanan bernama 'roti bakar'. Yup....! Memikirkan roti bakar, membuat aku membayangkan setangkup roti bakar yang renyah berwarna coklat keemasan dengan olesan sarikaya yang manis... Amboi.... Dan aku tahu dimana mendapatkan makanan 'sophisticated' ini ; di sebuah gerai sarapan milik negeri tetangga sebelah. Dulu semasa aku masih berstatus sebagai 'perempuan kantoran' (hmm... Masa lalu!), aku beberapa kali pernah menikmati makanan ini. Tidak heran karena  letak kantorku dulu bersebelahan dengan arena food court yang banyak dihuni oleh gerai-gerai resto yang ekslusif dan expensive. Akan tetapi realitanya, kelas pekerja sepertiku lebih sering berkunjung ke gerai-gerai Amigos ('agak minggir got sedikit') yang terkonsentrasi di belakang gedung kantor, yang harga makanannya lebih bersahabat dengan kantong, hehe...

Maka demi menuntaskan bayangan roti bakar yang menggoda selera itu, aku bergegas mencolek Paman Google untuk mencari tahu lokasi gerai roti bakar itu. Ternyata dia ada di beberapa lokasi. Namun malang bagiku, semuanya terletak di mall dan superblok yang jauh dari rumahku. Bagiku sungguh tak masuk akal, jika hanya demi setangkup roti bakar itu aku harus menempuh jarak 15 hingga 20 kilometer, menembus belantara kemacetan dari Pondok Gede menuju Jakarta.

Termangu-mangu sendiri aku memikirkan hasrat yang tak sampai, sementara di kepala terbayang-bayang si roti bakar yang renyah menggoda. Disaat yang sama aku juga berpikir mencari alternatif lain. Roti bakar di cafe HH, atau yang di dekat rumah sakit? Lumayan dekat dengan rumah... Atau yang di gerai ET di mall terdekat? Atau... Roti bakar E yang terkenal itu, tapi wartend-nya baru buka nanti sore?

Di tengah berbagai alternatif itu, tiba-tiba muncul bayangan roti bakar berbentuk segitiga yang tipis dan renyah dalam balutan kertas polos kekuningan. Tuing...tuing...tuing... Seperti ada bola lampu pijar yang mengelilingi kepalaku. Ini dia! Dan kenanganku pun lalu melayang ke masa kuliah dulu.

Dulu semasa kuliah aku kost 'all in'  di rumah sebuah keluarga yang baik hati di dekat kampusku. Dengan status 'all in' itu, artinya selain cuci setrika, kami (berempat orang, dua kamar) juga mendapat fasilitas makan tiga kali sehari. Itu belum termasuk berbagai snack jika ibu kost baru mendapat oleh-oleh dari kerabatnya, atau beliau sedang rajin membuat penganan di sore hari.

Untuk sarapan pagi, biasanya ibu kost menyediakan nasi goreng atau yang paling sering adalah roti tawar lapis mentega dengan isi coklat beras (meises). Nah, dari sinilah kenangan itu bermula.

Dengan menu sarapan yang nyaris sama setiap hari, kadang perut mahasiswa kami  merasa jenuh juga. Seringkali menu roti itu kami tinggalkan dan kami memilih mencari sarapan di luar. Akibatnya roti-roti itu bertumpuk saja di meja kecil samping tempat tidur. Mau dibuang tentu sayang, mengingat orangtua kami yang setiap bulan mengirim biaya bulanan untuk mendukung cita-cita kami menjadi sarjana....halaaahh...

Berpikir dan berpikir, tiba-tiba seorang teman kost memiliki ide brilian untuk menyelamatkan roti-roti itu dari tempat sampah. Dan ini menjadi bukti, bahwa dalam keadaan kepepet biasanya akan muncul pemikiran 'out of the box', kreativitas yang tak disangka-sangka.

Dengan modal alat setrika listrik yang kami miliki di kamar masing-masing, teman kami itu berkreasi membuat roti bakar dengan bantuan setrikaan listrik tadi. Pertama, ia membungkus roti berolesan mentega dan coklat itu dengan kertas polos putih kekuningan yang pada masa itu kami gunakan untuk buram atau coret-coretan, yang harganya lebih murah daripada kertas hvs. Lalu dengan santainya ia memanaskan setrikaan listrik. Setelah dirasa cukup panas, setrikaan itu ia tumpangkan di atas bungkusan roti tadi. Tunggu beberapa menit sampai roti cukup gepeng, tipis dan kering. Dan....this is it.... Jadilah roti bakar renyah gepeng tipis ala anak kost...!

Sejak saat itu, setrikaan dan kertas buram itulah yang menjadi penyelamat. Lumayan, roti tawar yang menjenuhkan itu bisa menjadi camilan dikala senggang... Tapi tentu saja, tidak setiap saat kami bisa membuat roti bakar itu. Yang jelas kami tidak pernah 'berkreasi' membuat roti bakar itu pada malam hari, khawatir jika karena setrikaan itu listrik rumah ibu kost turun sekring-nya karena kelebihan beban...hihi...

Aku tersenyum sendiri mengingat kreativitas "luar biasa" dari teman kostku dulu. Dan, eh, kenapa aku tidak mencoba membuatnya juga sekarang, daripada aku terus mengidamkan roti bakar sarikaya dari negeri sebelah itu? Tapi, upps... Aku tidak punya stok roti tawar. Penjual roti keliling hanya lewat pagi tadi atau malam nanti. Masa aku harus menunggu sampai malam? Ah, beli saja di minimart di luar komplek. Jalan sedikit okelah...
Bergegas aku menyambar dompet, mencari sandal dan membuka pintu... Oalah, baru saja hendak membuka pagar, hujan turun mendadak dengan deras tanpa didahului gerimis... Duuh, rupanya aku masih harus bersabar untuk bisa mengunyah roti bakar yang kuidamkan...


Pondok Gede - 31052013


*) Di-dedikasikan untuk kak Winda, si pemilik ide 'roti bakar setrika'

Tidak ada komentar:

Posting Komentar