Entah mengapa, dalam beberapa hari ini aku
seperti 'ngidam' roti bakar. Mungkin karena lambung dan pencernaan yang agak
kurang bersahabat akhir-akhir ini. Kegemaranku terhadap rasa pedas cabe dan
harumnya kopi seperti harus dihentikan sementara. Dampaknya, aku kemudian
mencari-cari satu jenis makanan yang mampu membangkitkan semangat mengunyah.
Maklum dengan kondisi perut yang tak nyaman, tentunya membuat selera makan
bermigrasi entah kemana.
Setelah berkali-kali menimbang dan memilih,
seleraku mengarah pada makanan bernama 'roti bakar'. Yup....! Memikirkan roti
bakar, membuat aku membayangkan setangkup roti bakar yang renyah berwarna
coklat keemasan dengan olesan sarikaya yang manis... Amboi.... Dan aku tahu dimana
mendapatkan makanan 'sophisticated' ini ; di sebuah gerai sarapan milik negeri
tetangga sebelah. Dulu semasa aku masih berstatus sebagai 'perempuan kantoran'
(hmm... Masa lalu!), aku beberapa kali pernah menikmati makanan ini. Tidak
heran karena letak kantorku dulu
bersebelahan dengan arena food court yang banyak dihuni oleh gerai-gerai resto
yang ekslusif dan expensive. Akan tetapi realitanya, kelas pekerja sepertiku
lebih sering berkunjung ke gerai-gerai Amigos ('agak minggir got sedikit') yang
terkonsentrasi di belakang gedung kantor, yang harga makanannya lebih
bersahabat dengan kantong, hehe...
Maka demi menuntaskan bayangan roti bakar
yang menggoda selera itu, aku bergegas mencolek Paman Google untuk mencari tahu
lokasi gerai roti bakar itu. Ternyata dia ada di beberapa lokasi. Namun malang
bagiku, semuanya terletak di mall dan superblok yang jauh dari rumahku. Bagiku
sungguh tak masuk akal, jika hanya demi setangkup roti bakar itu aku harus
menempuh jarak 15 hingga 20 kilometer, menembus belantara kemacetan dari Pondok
Gede menuju Jakarta.
Termangu-mangu sendiri aku memikirkan
hasrat yang tak sampai, sementara di kepala terbayang-bayang si roti bakar yang
renyah menggoda. Disaat yang sama aku juga berpikir mencari alternatif lain.
Roti bakar di cafe HH, atau yang di dekat rumah sakit? Lumayan dekat dengan
rumah... Atau yang di gerai ET di mall terdekat? Atau... Roti bakar E yang
terkenal itu, tapi wartend-nya baru buka nanti sore?
Di tengah berbagai alternatif itu,
tiba-tiba muncul bayangan roti bakar berbentuk segitiga yang tipis dan renyah
dalam balutan kertas polos kekuningan. Tuing...tuing...tuing... Seperti ada
bola lampu pijar yang mengelilingi kepalaku. Ini dia! Dan kenanganku pun lalu
melayang ke masa kuliah dulu.
Dulu semasa kuliah aku kost 'all in' di rumah sebuah keluarga yang baik hati di
dekat kampusku. Dengan status 'all in' itu, artinya selain cuci setrika, kami
(berempat orang, dua kamar) juga mendapat fasilitas makan tiga kali sehari. Itu
belum termasuk berbagai snack jika ibu kost baru mendapat oleh-oleh dari
kerabatnya, atau beliau sedang rajin membuat penganan di sore hari.
Untuk sarapan pagi, biasanya ibu kost
menyediakan nasi goreng atau yang paling sering adalah roti tawar lapis mentega
dengan isi coklat beras (meises). Nah, dari sinilah kenangan itu bermula.
Dengan menu sarapan yang nyaris sama setiap
hari, kadang perut mahasiswa kami merasa
jenuh juga. Seringkali menu roti itu kami tinggalkan dan kami memilih mencari
sarapan di luar. Akibatnya roti-roti itu bertumpuk saja di meja kecil samping
tempat tidur. Mau dibuang tentu sayang, mengingat orangtua kami yang setiap
bulan mengirim biaya bulanan untuk mendukung cita-cita kami menjadi
sarjana....halaaahh...
Berpikir dan berpikir, tiba-tiba seorang
teman kost memiliki ide brilian untuk menyelamatkan roti-roti itu dari tempat
sampah. Dan ini menjadi bukti, bahwa dalam keadaan kepepet biasanya akan muncul
pemikiran 'out of the box', kreativitas yang tak disangka-sangka.
Dengan modal alat setrika listrik yang kami
miliki di kamar masing-masing, teman kami itu berkreasi membuat roti bakar
dengan bantuan setrikaan listrik tadi. Pertama, ia membungkus roti berolesan
mentega dan coklat itu dengan kertas polos putih kekuningan yang pada masa itu
kami gunakan untuk buram atau coret-coretan, yang harganya lebih murah daripada
kertas hvs. Lalu dengan santainya ia memanaskan setrikaan listrik. Setelah
dirasa cukup panas, setrikaan itu ia tumpangkan di atas bungkusan roti tadi.
Tunggu beberapa menit sampai roti cukup gepeng, tipis dan kering. Dan....this
is it.... Jadilah roti bakar renyah gepeng tipis ala anak kost...!
Sejak saat itu, setrikaan dan kertas buram
itulah yang menjadi penyelamat. Lumayan, roti tawar yang menjenuhkan itu bisa
menjadi camilan dikala senggang... Tapi tentu saja, tidak setiap saat kami bisa
membuat roti bakar itu. Yang jelas kami tidak pernah 'berkreasi' membuat roti
bakar itu pada malam hari, khawatir jika karena setrikaan itu listrik rumah ibu
kost turun sekring-nya karena kelebihan beban...hihi...
Aku tersenyum sendiri mengingat kreativitas
"luar biasa" dari teman kostku dulu. Dan, eh, kenapa aku tidak
mencoba membuatnya juga sekarang, daripada aku terus mengidamkan roti bakar
sarikaya dari negeri sebelah itu? Tapi, upps... Aku tidak punya stok roti
tawar. Penjual roti keliling hanya lewat pagi tadi atau malam nanti. Masa aku
harus menunggu sampai malam? Ah, beli saja di minimart di luar komplek. Jalan
sedikit okelah...
Bergegas aku menyambar dompet, mencari
sandal dan membuka pintu... Oalah, baru saja hendak membuka pagar, hujan turun
mendadak dengan deras tanpa didahului gerimis... Duuh, rupanya aku masih harus
bersabar untuk bisa mengunyah roti bakar yang kuidamkan...
Pondok Gede - 31052013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar