Atas nama pendidikan, dimana keberhasilan
pendidikan (atau pengajaran??), diwujudkan dalam bentuk nilai kuantitatif. Maka
dengan keukeuh dan pongahnya pemerintah RI, yang pemangku jabatannya terdiri
dari orang-orang 'pintar' ini memaksakan diri untuk melaksanakan UN. Tak peduli
dengan sengkarutnya pelaksanaan UN, beban psikologis yang harus ditanggung oleh
anak-anak karena ujian yang tertunda sekian hari, pemerintah dengan bangga
menunjukkan angka-angka statistik tentang 'keberhasilan' UN yang diwakilkan
dalam angka.
Sesungguhnya aku meragukan kebanggaan para
pejabat itu. Apakah mereka bangga akan keberhasilan anak-anak didik dalam
menjalani UN itu, atau sebenarnya mereka jemawa dengan diri mereka sendiri yang
telah berhasil melaksanakan (atau memaksakan??) hajat UN?
Dan sesungguhnya pula, aku secara pribadi,
tidak begitu terpukau dengan kepintaran yang diwakilkan dalam bentuk
angka-angka absolut, dan terlebih lagi disematkan pada bidang ilmu tertentu.
Dimana sejak dulu kala, yang disebut anak sekolah pintar adalah mereka yang
mendapatkan nilai tinggi dalam pelajaran matematika dan fisika atau kimia.
Begitu tingginya kasta pelajaran ini, sehingga jika seorang murid mendapat
nilai 11 atau 12 pun (lebih dari 10) dalam pelajaran ekonomi, akuntansi, sosiologi,
bahasa, ia tetap tidak dianggap sepintar mereka yang bernilai 10 dalam
pelajaran eksakta.
Aku sebenarnya senang dengan penemuan teori
"Multiple Intelligence" yang dilansir oleh Howard Gardner. Bahwa
kecerdasan itu ada 8 macam, dan matematika hanyalah salah satu dari delapan
jenis kecerdasan yang ada. Tapi sejauh mana dunia pendidikan di RI mampu meng-adopsi hasil pemikiran Gardner
ini? Jikalah tak ada suatu terobosan besar, maka tetaplah 'nilai absolut' yang
menjadi 'tuhan' dalam dunia pendidikan. Padahal yang disebut pendidikan adalah juga mencakup proses, yang
termasuk didalamnya moral, perilaku dan budi pekerti. Jadi bukan hanya
ber-orientasi pada hasil.
Ada baiknya jika kita baca tulisan seorang
praktisi pendidikan tentang makna 'pintar' ;
REPUBLIKA.CO.ID,
Asep Sapa'at
(Praktisi
Pendidikan, Direktur Sekolah Guru Indonesia)
"Meluruskan
Makna Pintar"
Andai
masih hidup, Hoegeng Imam Santoso pasti merasa bangga menyaksikan aksi heroik 3
siswa SMP yang berhasil gagalkan aksi pemerkosaan. Mantan Kapolri yang terkenal
jujur hidupnya itu pernah berujar, “Jadi orang penting itu baik. Tapi yang jauh lebih penting adalah
menjadi orang baik”.
Aziz
(15), Abdulrahman Assegaf (13), Ilham (13) tak punya posisi penting apapun.
Mereka berani ambil risiko untuk menyelamatkan korban pemerkosaan. Alih-alih
menerima uang suap dari pelaku untuk berdamai, mereka malah tolak mentah-mentah
uang suap dan langsung menggelandang pelaku ke pihak berwenang. Kalau bukan
karena nurani dan setia pada kebaikan, mustahil mereka ambil pilihan itu. Sikap
hebat yang mestinya dilakukan orang-orang penting di negeri ini.
Apresiasi
membanjiri mereka. Bahkan, beberapa lembaga, seperti Komisi Perlindungan Anak
Indonesia (KPAI), Kemdikbud, dan Kemenag memberikan beasiswa dan laptop. Mereka
dielu-elukan sebagai sosok pahlawan. Jika ketiga anak muda ini diberi banyak
penghargaan, itulah apresiasi, tak ada yang salah dengan situasi ini.
Kesalahan
baru terjadi ketika inspirasi ini tak dikelola agar merangsang anak muda lain
untuk melakukan hal serupa. Dan, inspirasi seperti ini mestinya disistematisasi
dan dilembagakan lewat kerja pendidikan di lingkungan rumah, sekolah, dan
masyarakat. Mengapa demikian? Karena inilah tujuan pendidikan hakiki,
melahirkan manusia cerdas bernalar dan berbudi pekerti. Tak boleh salah
satunya, harus kedua-duanya, cerdas dan berakhlak mulia. Tak boleh ada
kompromi.
Layakkah
Aziz, Abdulrahman Assegaf, dan Ilham digelari anak pintar? Saya bisa paham jika
kita agak ragu untuk menyepakati bahwa mereka anak pintar. Karena pintar ini
cenderung menjadi milik orang-orang tertentu. Orang pintar itu juara kelas.
Orang pintar itu juara olimpiade matematika dan sains.
Tak
ada yang keliru dengan gelar pintar itu, namun dimana ruang bagi anak-anak
seperti Aziz, Assegaf, dan Ilham mendapat apresiasi tulus sebagai anak baik
yang punya karakter kuat mau bermanfaat bagi sesama? Tak sekadar menjadi juara
bagi diri sendiri. Tapi bersedia berbuat baik untuk sesama.
Orang
tua mati-matian menyekolahkan dan mengikutkan anaknya les privat agar menjadi
anak pintar. Guru elu-elukan anak pintar habis-habisan. Sekolah beri beasiswa
hanya untuk anak pintar. Kita tak pernah kritis, untuk apa anak pintar
dilahirkan?
Apakah
anak pintar ini hebat untuk dirinya sendiri atau bersedia membagi kepintarannya
agar bermanfaat bagi banyak orang? Pintar, makna katanya menjadi sangat sempit,
khusus digelari bagi individu-individu yang encer otaknya saja. Soal budi
pekertinya, itu persoalan lain, terkesan tak ada hubungan sama sekali. Tak
terintegrasi, itu kata lainnya.
Andai
kisah ini tak diekspos media, mungkinkah ketiga anak muda ini mendapat
perhatian publik? Saya selalu merasa khawatir, kisah heroik seperti ini mudah
dilupakan. Atas dasar apapun, melupakan nilai-nilai hidup dari kisah tiga anak
muda adalah kekeliruan terbesar bagi kita semua. Institusi keluarga, sekolah,
dan masyarakat hendaknya segera tergerak untuk merancang sistem untuk
melahirkan anak-anak pintar semacam Aziz, Abdulrahman Assegaf, dan Ilham.
Orang tua harus segera mengubah cara pandang tentang
sosok anak pintar. Pintar itu bukan juara kelas saja, pintar itu bukan nilai
matematika 9 di rapor, pintar itu bukan semata bisa jadi juara olimpiade,
pintar itu berfokus pada kualitas nilai manfaat diri sendiri untuk orang lain.
Bukan simbol-simbol semu (angka, prestise, dsb) yang merangsang keangkuhan dan
tak melahirkan kebaikan dari si empunya kepintaran untuk banyak orang. Semakin
pintar, semakin banyak manfaat bagi sesama. Bukan sebaliknya, semakin pintar
tapi semakin ‘ngakali’ orang lain. Sadarilah hal ini sejak dini.
Jika
sekolah sungguh-sungguh hendak lahirkan sosok Aziz, Abdulrahman Assegaf, dan
Ilham lainnya, sekolah harus segera menyadari kelemahan dalam menilai siapa
sebenarnya murid pintar itu. Jika pintar itu juara kelas, dan hanya satu orang
saja yang layak duduk di singgasana, bagaimana perasaan anak lain yang tak
pernah bisa duduk di singgasana?
Berikan
ruang apresiasi bagi murid yang punya inisiatif untuk bersikap jujur, selalu
tepat waktu masuk kelas dan mengerjakan tugas, dan segenap perilaku baik yang
kadung selalu disepelekan. Praktikkan sikap tegas bagi para pelaku kecurangan
dan tak disiplin di sekolah agar ada efek jera. Kepala sekolah, guru, dan
orangtua musti kompak memberikan keteladanan.
Mari cermati secara seksama, berapa banyak sekolah
yang memberikan penghargaan bagi anak jujur, anak disiplin, anak pekerja keras,
dan anak yang punya karakter lainnya? Nol besar. Sebaliknya, hadiah istimewa
selalu tertuju untuk anak juara kelas, juara olimpiade matematika, juara
olimpiade sains, dan juara-juara yang mampu tunjukkan kehebatan kapasitas otak
mereka.
Mereka selalu dielu-elukan karena menjadi kebanggaan
orangtua, guru, dan sekolah. Spanduk dan baliho besar terpampang jelas di depan
gedung sekolah, ‘Selamat atas sukses menjadi juara...’ Sekali
lagi, tak ada yang salah dengan semua ini. Namun ingat, ketika ada bahkan
sebagian orang pintar yang tega berbuat korupsi dan manipulasi, bolehlah kita merenung
sejenak, untuk apa orang pintar macam ini? Jangan sampai dunia pendidikan
nasional melahirkan orang-orang pintar yang tak paham untuk apa dan untuk siapa
kepintarannya.
Alih-alih menghargai perilaku baik, yang terjadi murid
malah tak dicegah untuk mencontek dan berbuat curang. Disiplin untuk tak
disiplin malah dibudayakan. Ujung-ujungnya sistem persekolahan ikut
menghancurkan karakter anak-anak bangsa. Yang memilukan, jangan-jangan hal ini
bukan tanpa disadari dilakukan, tapi direkayasa oleh pihak yang menghendaki
sistem sekolah mandul untuk melahirkan anak-anak pintar nan berkarakter.
Pintar
oh pintar, pilu hati ini karena maknamu telah direduksi oleh pihak-pihak yang ‘merasa pintar’.
Pintar
itu harus lahir dari sistem pendidikan yang punya niat penuh kebaikan, dikelola
dan berproses dengan spirit nilai-nilai kebaikan, dan melahirkan orang-orang
baik yang menebarkan kebaikan untuk segenap makhluk di muka bumi ini.
“Adalah
kebaikan ketika kita menjadi orang pintar. Tapi kepintaran sejati adalah ketika
kita menjadi orang baik”, terkenang
selalu pesan dari guru kehidupan saya.
Pondok
Gede - 31052013