" Sepanjang hidupku, aku
melihat kenyataan bahwa banyak laki-laki memiliki istri lebih dari satu. Bahkan
aku mulai beranggapan bahwa poligami memang telah menjadi adat budaya
Minangkabau. Dua wanita yang berada disamping Ayah adalah perempuan-perempuan
yang sepertinya harus tunduk pada system poligami yang berkembang sebagai
budaya yang lumrah.. Kurasa mereka bahkan telah menjadikannya sebagai takdir
hidup mereka sebagai perempuan.
Namun
menurutku, keadilan dan keharmonisan yang ada dalam keluarga kami tercipta
bukan karena ayah yang benar-benar berlaku adil tetapi keadilan itu ada karena
keikhlasan kedua perempuan yang menjadi istri ayah . Ayah hanya menikmati
kepoligamiannya tanpa beban apa-apa, bahkan ketika akhirnya Ayah menikah lagi
untuk yang ketiga kalinya . Aku merasa bahwa itu terjadi juga karena peran
besar ketiga wanita si sisi Ayah. Wanitalah kuncinya.”
(novel “Antara Ibuku & Ibuku” – Desni Intan Suri) *)
Novel ini
membuat aku salah prediksi. Ketika membaca sinopsisnya, aku mengira akan
menemukan kisah manisnya realita poligami, jauh dari apa yang dipersepsikan orang
kebanyakan. Bagaimana dua orang perempuan menggapai ikhlas dalam menjalani
kehidupannya bersama seorang suami yang sama. Dan semuanya akan berujung happy end, they live happily ever
after.
Awalnya memang
demikian. Hingga paruh pertama novel, terkisahkan bahwa poligami bukanlah masalah.
Terbukti dalam cerita itu bahwa keluarga yang terdiri dari seorang suami, dua
istri dan (!) lebih dari sepuluh anak, toh bisa berbaur dan berkumpul dengan akur.
Tapi pada paruh
kedua novel, penulisnya dengan cepat membalikkan keadaan aman damai sentosa
itu. Ketika satu persatu anak-anak dari keluarga itu menikah dan ketika si Ayah
menikah lagi untuk ketiga kalinya, mulailah konflik menyeruak. Saat itu pula
mulai muncul sikap saling curiga, kecewa dan menyalahkan, baik antara dua ibu dan
antara anak-anaknya.
Konflik bergulir
terus, hingga sampai pada suatu gambaran bahwa poligami itu tak semudah apa
yang dikatakan dan dijanjikan. Kalaupun kedua istri telah saling ikhlas, apakah
begitu juga sikap anak-anak yang lahir dari ayah yang sama tapi ibu yang
berbeda? Novel ini menggambarkan dengan jelas konflik dan ketidakrelaan anak-anak. Terutama dalam
pandangan tokoh utamanya, salah seorang anak perempuan dari Istri kedua.
Pada akhirnya
penulis novel menceritakan, bahwa poligami tetaplah membawa dampak bagi
anak-anak. Yang jelas adalah masalah kontrol orangtua terhadap pendidikan dan
pola asuh yang tidak akan sama dengan monogami. Dampak yang tidak jelas timbul
dalam bentuk psikis. Untuk anak perempuan sulit untuk mengakui bahwa tidak
semua lelaki mempunyai tujuan berpoligami dalam perkawinannya (halaman
276-277).
Adalah menjadi
lebih menarik, karena novel ini ditulis oleh seorang perempuan Minang, yang
dalam tulisannya mengakui bahwa dalam budaya Minangkabau, poligami telah
menjadi adat budaya. Karena itulah Desni Intan Suri mampu
dengan detil menggambarkan kehidupan seorang anak perempuan (tokoh utama, bernama Tata) yang
dibesarkan dalam lingkungan budaya
Minang ditengah keluarga yang ayahnya menjalankan
poligami.
Tapi, kupikir,
dampak terhadap kondisi psikis anak-anak tidak hanya dialami oleh mereka yang
berada dalam lingkup budaya tertentu. Aku ingat, dalam satu kesempatan
wawancara pada program Kick Andy. Saat itu Sultan HB-X menerima pertanyaan
nakal dari Andy Noya, apakah beliau akan menjalankan praktek poligami mengingat
kelima keturunannya adalah perempuan? Sultan HB-X menjawab, "tidak".
Karena beliau mengalami bagaimana rasanya dibesarkan dalam keluarga yang
ayahnya menjalani poligami.
Lepas dari kemungkinan subyektivitas penulis dalam memandang poligami,
novel ini bisa memberikan sisi pandang lain tentang pilihan hidup yang
kadang-kadang tidak umum dan sulit dimengerti oleh orang kebanyakan.
*) Buku ini mendapatkan
penghargaan Islamic Book Fair Award 2012 kategori buku Fiksi Dewasa pada event
pameran buku Islamic Book Fair 9 - 18 Maret 2012.