Halal bihalal, silaturahim, arisan.... Atau
apapun namanya. Jika aktivitasnya adalah berkumpul, bicara, ngobrol, dan
subyeknya adalah para perempuan, maka sudah bisa dipastikan bahwa ngerumpi dan
curhat adalah topik utama.
Demikian pula dengan yang kutemui kemarin.
Bertemu dengan teman-teman masa kuliah, lengkap dengan performanya
masing-masing kini. Ada yang masih imut seperti dulu, ada yang makin pede
karena kariernya yang menjulang, ada yang sangat "ibu-ibu" posturnya.
Ada pula yang tetap apa adanya.... Meskipun telah beraneka rupa penampilannya,
tapi tetap saja ibu-ibu ini setia pada kebiasaannya bila bertemu ; ngerumpi
tentang apapun.
Entah bagaimana awalnya dan siapa yang
lebih dulu membuka topik ini, tiba-tiba saja obrolan kami berubah menjadi
monolog. Seorang teman - yang beberapa waktu lalu kudengar bermasalah dengan
suaminya - menjadi bintang panggung. Dengan raut wajah tenang hampir tanpa ekspresi ia
tak segan bercerita tentang biduk rumahtangganya yang pernah oleng karena
hadirnya perempuan lain dalam kehidupan suaminya ;
"Sebelumnya
gue nggak pernah menyangka akan mengalami hal seperti ini. Gue percaya bahwa
suami gue adalah lelaki baik, beda dengan lelaki lain yang sering kudengar
coba-coba main gila dengan perempuan. Tapi toh itu terjadi juga ke
gue..."
Kami ternganga saja mendengarnya. Aku bahkan
sama sekali tak menyangka bahwa dia dengan enteng bercerita tentang kehidupan
pribadinya. Lebih lanjut dia seperti menjadi pendongeng yang baik bagi kami.
Diceritakannya bahwa WIL suaminya adalah seorang perempuan muda lajang yang
usianya separuh dari usia suaminya. Betapa dia menduga bahwa perempuan itu
mendekati suaminya, dengan motif memanfaatkan kedudukan suaminya yang menjadi
bos bagi perempuan itu.
"Enak
aja anak ingusan itu mau mengambil keuntungan dari suami gue. Dia nggak tahu
bagaimana gue dulu menemani suami merangkak dari bawah. Dan sekarang dia mau
mengambilalih peran gue disaat suami gue sudah jadi? Gue nggak mau di-poligami.
Gue bahkan menantang suami untuk menikahi anak ingusan itu! Gue minta
dicerai....!" kata temanku berapi-api.
Kami makin terpesona mendengar monolognya.
"Gue
bilang ke suami gue. Silakan nikahi perempuan itu kalau kamu serius dan
mencintainya. Anak-anak kuserahkan padamu dan perempuan itu. Karena aku akan
pulang ke rumah orangtuaku."
Kami sedikit terperangah mendengar
penuturannya tentang pengasuhan anak. Jika yang biasa terjadi pihak istri
selalu ngotot minta hak pengasuhan anak, mengapa temanku ini justru menyerahkan
pengasuhan anak kepada suami dan WIL-nya?
"Lu nggak sayang anak-anak? Lu rela
kehilangan anak-anak lu?" celetuk
seorang teman kemudian.
"Siapa bilang? Ibu mana sih, yang mau
kehilangan anak-anaknya? Gila aja kali....," katanya.
"Lalu kenapa lu berniat menyerahkan
hak asuh anak-anak lu?"
Temanku si pelaku monolog itu menjawab
dengan yakin. Jawaban yang membuat kami kembali terperangah. Betapa
pemikirannya itu membuka cara berpikir kami dalam menghadapi
perempuan-perempuan muda lajang yang berusaha 'merampas' suami perempuan lain.
"Gue
sebenarnya menantang keseriusan perempuan itu. Apa dia benar-benar mau menerima
suami gue apa adanya. Dalam susah atau senang, seperti gue menerima suami gue
itu. Jangan hanya mau enaknya aja. Mau suami gue, tapi nggak mau anak-anaknya.
Kalau memang dia serius cinta sama suami gue, mustinya dia mau juga dong,
terima anak-anak sekalian mengurus dan mendidiknya..."
Kami yang mendengar kata-katanya itu
akhirnya tersenyum. Betul. Itu adalah pemikiran yang brilyan dari seorang istri
dalam upaya menyelamatkan rumahtangganya.
"Akhirnya betul kan? Anak itu ternyata
nggak berani terima tantangan gue, meskipun suami gue oke-oke aja. Dia nggak
sanggup jadi istri suami gue sekaligus jadi ibu anak-anak gue...."
"Terus?"
"Lama-lama anak itu menjauh dari suami
gue... Syukurlah. Dan suami gue kembali jadi seperti yang dulu sebelum digoda
oleh anak ingusan itu...," jawab temanku itu dengan raut wajah lega. Kami
pun tak sadar, turut menghela nafas lega.
Nah, sedikit pesan bagi para perempuan muda
lajang pencinta lelaki beranak istri ; Pikirkanlah sekali lagi jika anda
berniat mengambilalih suami perempuan lain yang sudah memiliki anak. Bagaimana
jika anda beruntung bertemu dengan istri yang pemurah seperti temanku itu. Tak
hanya merelakan suaminya untuk menikahimu, tapi juga menyerahkan pengasuhan,
perawatan, pendidikan anak-anaknya kepadamu? Bersediakah? Jangan hanya mau
menerima bapaknya, tapi terima juga anak-anaknya untuk anda asuh. Apapun kondisi anak-anaknya ; yang baik, yang
penurut, ataupun yang kurang ajar, bengal, berandal, dan bandel. Paket komplit bapak
berikut anak-anaknya harus anda terima jika anda memang benar-benar tulus
mencintai suami perempuan lain. Hmm......