Hari masih sangat dini. Dingin sisa hujan kemarin malam menyengat kulit,
saat aku terbangun dari tidur yang hanya sebentar. Seperti hari-hari biasanya,
pagi, sebelum adzan subuh berkumandang, aku sudah memulai hariku. Pertama aku
akan pergi ke kamar anakku. Mengganti lampu tidur dengan lampu terang,
mematikan pendingin ruangan (yang sebenarnya tidak perlu dinyalakan karena
belakangan ini udara sudah dingin karena musim hujan). Lalu kulanjutkan dengan
menarik selimut, bantal dan guling dari tubuh anakku, sebelum akhirnya
membangunkannya untuk persiapan berangkat sekolah. Ritual yang seringkali
membuat stres, karena semuanya berkejaran dengan waktu. Semuanya harus
berlangsung dengan cepat dan tepat. Karena selisih waktu yang hanya tiga atau
lima menit pun akan menentukan apakah kita bisa sampai di tempat tujuan tanpa
terlambat, atau apakah kita terperangkap dalam kemacetan lalulintas yang
menjengkelkan.
Dia, anakku, matanya masih terpejam rapat meskipun telah kehilangan selimut, bantal dan gulingnya dalam waktu bersamaan. Aku tahu, tanpa garukan ditelapak kakinya dan gelitikan pada tubuhnya dia tidak akan terbangun. Kupandangi tubuh kecil yang masih lelap dalam kubangan alas tidur bergambar tokoh Naruto. Dalam usianya yang melewati tujuh tahun menjelang delapan, dia terlihat langsing dibanding empat atau lima tahun yang lalu, ketika orang gemas melihat pipi chubby-nya, atau paha dan lengannya yang gempal.
Anakku masih tidur dengan posisi miring, kedua tungkainya rapat tertarik
kearah perut, dan kedua tangan menyatu didepan dada. Seperti posisi bayi yang
berada dalam rahim ibunya. Ah, aku baru sadar bahwa akupun menyukai posisi
tidur seperti itu. Hatiku tersentuh, aku bergerak merengkuh dan memeluk tubuh
kecil itu dalam pelukanku. Kuciumi dan kukecup wajahnya sepuasku. Karena hal
ini tak mungkin kulakukan padanya ketika ia dalam kondisi tidak tidur. Entah
mengapa dalam usianya sekarang, dia sangat sulit untuk sekedar dimintai satu
ciuman atau pelukan. Anakku ini, kupikir memang kadang-kadang terlihat lebih
dewasa dalam berkata-kata dan bersikap dibanding kakaknya. Mungkinkah karena
itu dia enggan diperlakukan layaknya anak kecil yang sering dipeluk dan dicium?
Aku masih memeluk dan menciumi dia, anakku. Menghirup bau anak-anak yang
masih melekat ditubuhnya, dan menikmati harum shampo dalam botol bergambar
Donald Duck yang masih tersisa dirambut halusnya. Saat itu aku terpana,
tiba-tiba aku mendengar suara tawa anakku. Meskipun tidak keras, tapi aku
mendengarnya sebagai suara yang sangat indah. Suara tawa yang riang dan jernih
itu, keluar dari mulut yang terbuka riang menunjukkan gigi geligi ompongnya.
Sementara diwaktu yang sama, matanya masih terpejam rapat. Mimpi apa yang
sedang kau alami anakku? Apakah engkau sedang bercanda dengan bidadari di
surga, sambil menjilati mentega atau kecap yang selama ini kau lakukan
diam-diam (padahal Ibu tahu)? Atau minum berbotol-botol minuman soda dingin
yang sangat Ibu hindarkan darimu? Atau bermain playstation, PSP atau game
online seharian penuh tanpa teguran dan larangan?
Jika benar itu yang ada dalam mimpimu, maafkan Ibumu karena seringkali
melarangmu melakukan hal itu. Ketahuilah, nak....Kalau Ibu melarangmu, itu
bukan berarti Ibu tak menyayangimu. Ibu hanya ingin kau mendapatkan yang
terbaik, yang mungkin tak akan bisa terjadi karena apa yang kau lakukan itu.
Tertawalah selalu, nak.... Jangan hanya tertawa dalam tidurmu... Karena
senyum dan tawamu lebih berarti bagi Ibu, daripada senyum dan tawa manusia
dewasa yang kadang tidak tulus karena diiringi berbagai maksud dan tujuan......
Pondok Gede - 13012012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar