Ajaib....! Aku seperti menemukan harta
karun ketika membuka bungkusan bawang merah yang pagi tadi kubeli dari tukang
sayur langgananku. Kertas pembungkus bawang itu, kertas hvs putih polos, ada
tulisan tangan dan banyak coretan diatasnya. Tulisan dengan tinta biru,
berhuruf kecil-kecil rapi khas perempuan. Tapi sayangnya tak ada nama
penulisnya.
Sayangnya lagi, surat itu seperti terputus,
belum mencapai kalimat penutup. Alinea terakhir bahkan huruf-hurufnya tak
serapi sebelumnya. Mungkin si penulis itu menulis dengan tergesa-gesa, atau
sudah kehilangan konsentrasinya.
Mau tahu isi surat tak bernama itu? Ini dia
;
Adikku,
setelah tadi aku bicara panjang lebar kepadamu. Aku punya harapan agar kamu
mengerti dengan apa yang aku katakan. Tapi Mungkin melalui perantaraan suara
ada banyak kata yang terlewat, terulang, tidak tersusun dengan baik. Karena itu
aku akan mengulanginya melalui aksara, agar lebih jelas dan terang apa yang
ingin kukatakan kepadamu.
Gadis,
neng geulis..... Sangat tinggi harapanku kepadamu, agar sesama perempuan kamu
bisa dan mau menempatkan diri, ber-empati ; Bagaimana jika suatu hari kelak
ketika kamu sudah berumahtangga, kamu mengalami seperti apa yang terjadi pada
diriku sekarang. Ketika tahu bahwa ada orang lain diantara kita dan suami kita.
Bagaimana resah dan sakitnya hati kita...
Dik,
kamu masih muda. Perjalanan kamu masih teramat panjang. Masih banyak hal dalam
hidup ini yang belum kamu ketahui dan jalani. Dengarlah kataku ; Kamu membuang
waktu jika kamu terpaku pada lelaki yang sudah berkeluarga, dan sudah jelas dia
tidak bisa menjadikan kamu istri, sekalipun istri kedua seperti yang kamu minta
padanya.
Gadis...,
kamu muda. Kamu cantik dan pintar. Aku yakin jika saja kamu membuka hati, akan
banyak lelaki lajang sebaya kamu yang mengharapkan hatimu jatuh padanya.
Percayai itu! Hanya saja pesanku ;
Jangan sekali-sekali kamu membandingkan mereka dengan suamiku. Suamiku
menjadi seperti apa yang kamu lihat sekarang, itu melalui proses yang panjang.
Dia menjadi orang yang kamu kagumi dan cintai, dia menjadi lelaki yang matang,
pasti sedikitnya karena ada peranku disitu.
Dan
itu tidak akan kamu temui pada lelaki yang seumur kamu. Justru nanti, setelah
lelaki muda itu menjadi suamimu, kamu yang akan membantunya dan berperan menjadikannya lelaki matang dan dewasa seperti suamiku sekarang.
Jangan pernah berpikir bahwa suamiku, belasan tahun yang lalu, sama seperti dia
saat ini. Semua butuh proses, Dik. Dan itu seharusnya yang kamu lalui.
Dengarlah
saranku, Dis. Kamu harus move on. Lupakanlah suamiku. Lihatlah disekitarmu
masih banyak lelaki muda lajang yang potensinya jauh melebihi suamiku. Salah
satu dari mereka akan mampu menjadikan kamu sebagai perempuan satu-satunya di
hatinya. Tidak seperti suamiku sekarang, yang sudah jelas beristri aku dan ada
anak-anak di belakangku.
Gadis,
aku tahu kamu sakit. Tapi apakah karena sakitmu itu, kamu harus dapat excuse
untuk, maaf, 'mengharapkan cinta dari suami perempuan lain' ? Aku rasa tidak seharusnya begitu. Sakit itu
datang dari Tuhan..... Yang memberi kesembuhan juga pasti Tuhan.... Aku yakin
kamu percaya itu, karena kamu rajin beribadah. Jadi bukan cinta dan perhatian
serta ketergantungan dan kemanjaanmu pada
suamiku yang akan membuat kamu sembuh seperti yang kamu kira selama ini. Sadarilah itu.
Neng
geulis... Dengarkan aku. Kamu harus move on, Dik. Lupakan suamiku. Dia bukan
masa depanmu...
Tak terasa mataku berkaca-kaca membacanya.
Tapi siapakah gerangan penulis surat ini, yang begitu ceroboh membiarkan suratnya
jatuh ke tumpukan kertas-kertas bekas yang dipakai untuk membungkus sayur?
Salah satu istri yang tinggal di komplek inikah? Mungkin besok iseng-iseng
aku akan bertanya kepada Pak Sayur, darimana dia mendapatkan kertas-kertas
pembungkus sayur itu... (Haddeuuhh.... Kok jadi kepo ya...?).
Pondok Gede - 19092013